Puisi - Puisi Marlin Dinamikanto: "Kamisan Dari Seberang Istana."

 

( Marlin Dinamikanto: Penulis dan Sastrawan Indonesia )

 

7DetikDotCom - SASTRA PUISI MARLIN -

JERAT NUSANTARA

Aku tinggal di sarang langit yang teduh. Kembang berkawin kumbang beranak madu. Tapi itu dulu. Ketika rimba hijau perkasa. Jutaan kuda gesit arungi benua. Kapal layar berloncatan ikuti arah angin hingga armada hantu berdatangan mencari rempah. Telaga bening masih menjadi cermin sehingga Narkissos yang jatuh cinta kepada bayangnya sendiri mati tenggelam di sana.

Kita kah Narkissos itu? Selalu bangga iklim tropis yang ramah. Terlena sumber daya melimpah. Padahal itu hanya kaca spion kejayaan masa lalu. Tidak ada lagi jalan kembali. Kalau lah hidup di kolam susu; tongkat kayu dan batu jadi tanaman; kita yang menghamba masa lalu tak pernah tahu: Siapa pemilik kolam susu? Siapa pula pemilik tongkat kayu dan batu? Siapa yang berhak minum susu? Siapa pula yang berhak panen atas beragam tanaman, batu-batu, mineral, minyak bumi gas, dan anugerah dari langit lainnya.

Aku bukan Narkissos yang menjelma tikus mati di lumbung beras. Aku bagian bangsa yang berdaulat. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tak ada lagi penghambaan kepada raja, terlebih orang-orang kaya. Aku sadar, hidup mesti ada yang mengatur, mesti ada yang memimpin. Tapi siapa yang berhak mengatur? Siapa pula yang berhak memimpin? Aku bertanya kepada mendung yang menyembunyikan matahari di langit hitam.

Aku tinggal sendiri di atap rumah yang gelisah. Jendela buram memotret orang-orang yang sibuk mencari makan. Beruntung bagi kerbau yang masih ada sawah untuk dibajak. Kerbau-kerbau lainnya kerja serabutan. Ada yang tidak kebagian makanan. Seperti tukang Ojol di Medan, tiga hari tidak makan, sakit-sakitan, akhirnya mati kelaparan saat menunggu orderan makanan. Aku tahu itu karena masih punya jendela. Bagaimana dengan orang-orang yang dibodohkan oleh keadaan?

Aku hidup di hari ini dan mungkin esok lusa. Tak mau dijerat sarang laba-laba dari kepalsuan masa lalu yang  gelap gulita. Dibuai ilusi batang singkong yang bisa menciptakan rembulan. Terus apa yang bisa dilakukan? Tidak ada. Setelah pendidikan diciptakan hanya menjadi kerbau penggarap sawah orang-orang kaya yang arealnya sangat terbatas. Tidak diajarkan membuka jendela pikiran sehingga punya kuku dan taring tajam menjebol kebuntuan.

Benar kata Gandhi, bumi yang kita pijak memberikan kebutuhan hidup yang cukup untuk semua; akan tetapi tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan satu orang yang serakah. Mendadak aku mendengar lolong serigala dari kejauhan sana. Tutup segala pintu dan jendela. Bersama gelisah yang aku biarkan membusuk dalam pikiran. Tak bisa apa-apa. Selain berdoa semoga kepulauan nusantara baik-baik saja.

Tuprok,  Oktober 2024


ILUSI DEMANG LEBAR DAUN
: untuk Jamila sebelum berangkat ke Amerika

hatiku hatimu laksana palu godam 
memukul tiang pancang 
di setiap sudut kota 
potretku potretmu abadi dalam pikiran 
tapi bukan dari hati yang terbuat 
dari serpihan kaca remuk 
setelah pikiran ruwet saling tabrak 
di perempatan Demang Lebar Daun 
ke arah Bukit kah ?
ke arah Pakjo kah ?
ke arah Poligon kah ?
entah; 
yang aku ingat sore itu 
mengantarmu ke jalan Ogan 
sudah itu senyap 

Palembang, 15 November 2024


DARI BALIK JENDELA TUA

cinta yang kuberikan 
kepada malam tak kunjung pagi 
tak pernah sia-sia 

di sana terlihat samar 
paras cantik di dinding 
jendela tua yang engselnya mengelupas 
berderit riang diayun angin kencang 

lampu menyala perih 
cahaya memancar letih 
daunan layu 
sabar menunggu embun 
tapi pagi tak juga datang 
mungkin terjebak macet di Charitas 

oh , cubitan mesra itu 
masih kutunggu dari balik jendela 
yang hampir coplok engsel-engselnya 

Palembang, 15 November 2024


KAMISAN DI SEBERANG ISTANA

Duka tak pernah sampai ke mulut singa yang sedang berpesta  Mata memang terbuka, tapi hati tertutup katarak. Tak melihat payung hitam bertebar di seberang istana. Pun telinga tersumpal nanah beku. Congek !!! Enggan mendengar ratapan ibu-ibu yang kehilangan anaknya

Mungkin kalian anggap aksi kamisan hanya risau yang berkecipak seperti ikan berenang di aquarium yang keruh. Tapi begitulah rasa keadilan. Terus berdetak di jantung kaum papa yang tidak pernah hilang harap. Suatu saat sejarah mencatat. Menjebol ingatan. Ini bukan tentang mimpi buruk. Ini tentang penyalahgunaan kekuasaan yang  akut membunuh jiwa manusia

Mimpi buruk bisa segera dilupakan. Tapi bukan ketika ribuan korban dipaksa hilang ingatan. Dipaksa merelakan keluarganya yang hilang. Dipaksa menatap pusara anaknya yang tewas ditembak saat berjuang untuk kebaikan. Dipaksa ikhlaskan rumah sawah dan ladang untuk bisnis orang-orang kaya dan penguasa atas nama proyek strategis nasional. Dan banyak lagi holokaus yang membuat kami hidup bersama mimpi buruk yang panjang.

Di seberang istana yang megah ini. Kami akan terus merawat ingatan. Tentang masa lalu, atau bahkan masa kini yang kelam. Tidak !!! Kami mungkin bisa memaafkan. Tapi tidak melupakan..

Jakarta, 19 November 2024

 
Bionarasi:

Marlin Dinamikanto, menulis puisi sejak 1980-an, namun terhenti karena kesibukan menjadi demonstran era 1990-an, bagian dari Pijar (Pemimpin Redaksi Kabar dari Pijar 1985-1999). Baru aktif kembali bersastra pada 2011. Puisi-puisinya tersebar di sejumlah Antologi Bersama. Sudah menerbitkan 3 buku Antologi Puisi Tunggal "Yang Terasing dan Mampus" 2018, "Menyapa Cinta" 2020 dan " Menolak Ambyar" 2024. Sejumlah cerpennya juga dimuat di beberapa media.