7detik.com - Opini Wisata Jakarta - Kota Tua Jakarta, yang kini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah populer di ibu kota Indonesia, menyimpan jejak peradaban yang panjang dan kaya akan warisan sejarah. Kawasan ini bukan sekadar sebuah tempat wisata yang dipenuhi dengan gedung-gedung tua bergaya kolonial, tetapi juga merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Batavia—nama lama Jakarta—sejak zaman kolonial Belanda, khususnya era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang menguasai wilayah ini.
Awal Mula Kota Tua Jakarta
Sebelum
Batavia menjadi pusat kekuasaan VOC, wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Jakarta ini adalah kota pelabuhan penting bernama Jayakarta.
Pada awal abad ke-17, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Banten dan menjadi pusat perdagangan yang ramai karena lokasinya yang
strategis di tepi Laut Jawa.
Namun,
pada tahun 1619, pasukan VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen
menyerang Jayakarta dan menghancurkannya. VOC kemudian mendirikan kota
baru di atas reruntuhan Jayakarta dan menamainya Batavia. Dari sinilah
cikal bakal Kota Tua Jakarta dimulai, dengan Batavia menjadi pusat
administratif, militer, dan perdagangan VOC di Asia Tenggara.
Peran VOC dalam Membangun Batavia
VOC,
perusahaan dagang Belanda yang memiliki kekuatan politik dan militer,
melihat Batavia sebagai pusat strategis dalam perdagangan rempah-rempah
di Nusantara. Kota ini dirancang dengan arsitektur dan tata kota yang
meniru kota-kota di Belanda, dengan kanal-kanal yang membelah kota dan
bangunan bergaya kolonial klasik.
Bangunan-bangunan
utama yang masih berdiri hingga kini seperti Museum Fatahillah (dulu
Balai Kota Batavia), Gereja Sion, Gedung Arsip Nasional, dan Kantor Pos
Kota, adalah beberapa peninggalan dari era VOC yang memberikan gambaran
mengenai kejayaan Batavia di masa lalu.
Batavia
menjadi pusat dari segala kegiatan VOC di wilayah Asia dan menjadi
pelabuhan penting untuk lalu lintas perdagangan internasional. Dari
sini, VOC mengekspor komoditas seperti rempah-rempah, kopi, gula, dan
hasil bumi lainnya ke berbagai penjuru dunia.
Namun,
keberadaan VOC di Batavia tidak hanya membawa kemakmuran bagi
perusahaan Belanda itu, tetapi juga menyebabkan penderitaan bagi
penduduk lokal. Banyak rakyat Indonesia dipaksa bekerja untuk VOC di
bawah kondisi yang buruk. Ditambah lagi, kota Batavia juga mengalami
wabah penyakit akibat saluran air yang tercemar, terutama malaria, yang
menewaskan banyak orang, termasuk warga Eropa yang menetap di kota ini.
Kejatuhan VOC dan Transformasi Batavia
VOC
mengalami krisis keuangan pada akhir abad ke-18 akibat korupsi dan
kesalahan manajemen, yang akhirnya menyebabkan kebangkrutan pada tahun
1799. Setelah VOC dibubarkan, kekuasaan diambil alih oleh pemerintah
kolonial Belanda yang kemudian meneruskan kontrol atas Batavia dan
sekitarnya.
Pada masa
itu, Batavia tetap menjadi pusat administrasi Hindia Belanda dan terus
berkembang sebagai kota metropolitan di kawasan Asia Tenggara. Tata kota
mulai berubah dengan pembangunan area-area baru di selatan Batavia,
termasuk kawasan Menteng dan Gambir, sementara Kota Tua mulai
ditinggalkan.
Kota Tua di Masa Modern
Setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1945, Batavia berganti nama menjadi
Jakarta, dan kawasan Kota Tua perlahan-lahan kehilangan pamornya sebagai
pusat kegiatan ekonomi dan politik. Namun, di balik kesan usangnya,
Kota Tua menyimpan kekayaan sejarah yang luar biasa, dan pemerintah
Indonesia mulai melakukan upaya pelestarian terhadap bangunan-bangunan
bersejarah di area ini.
Pada
era modern, Kota Tua Jakarta menjadi pusat budaya dan sejarah yang
menarik bagi wisatawan. Banyak bangunan di kawasan ini dipugar dan
dijadikan museum, galeri, dan tempat wisata yang mendukung kegiatan seni
dan budaya. Misalnya, Museum Fatahillah, yang dulunya adalah Balai Kota
Batavia, kini menjadi museum sejarah Jakarta yang menampilkan
artefak-artefak dari zaman kolonial hingga masa kemerdekaan Indonesia.
Selain
itu, Kawasan Taman Fatahillah, yang menjadi jantung Kota Tua, kini
dipenuhi dengan aktivitas seni, komunitas kreatif, dan acara budaya yang
menarik perhatian pengunjung lokal maupun mancanegara. Di malam hari,
suasana di sekitar Kota Tua menjadi hidup dengan hadirnya pertunjukan
seni jalanan dan suasana yang penuh dengan nostalgia masa lalu.
Warisan dan Masa Depan Kota Tua
Kota
Tua Jakarta tidak hanya menjadi simbol sejarah panjang Jakarta, tetapi
juga merupakan pengingat bagi masyarakat Indonesia tentang era kolonial
yang pernah menguasai Nusantara. Meskipun diwarnai oleh masa-masa gelap
penjajahan, Kota Tua kini menjadi tempat yang menghidupkan kembali
budaya dan sejarah, sembari mendorong pemahaman lebih mendalam mengenai
masa lalu bangsa.
Melalui
upaya pelestarian dan revitalisasi yang terus dilakukan, Kota Tua
diharapkan dapat menjadi destinasi wisata sejarah unggulan yang tidak
hanya memelihara jejak kolonial, tetapi juga memperkuat jati diri bangsa
Indonesia di mata dunia. Dengan menghidupkan kembali Kota Tua, kita
dapat melihat bagaimana sejarah masa lalu membentuk wajah Jakarta, dan
bagaimana kita dapat belajar dari sejarah untuk membangun masa depan
yang lebih baik.
-----------
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.