( Mantan Presiden Soeharto Bersama Jenderal Besar Soedirman. )
7DETIKDOTCOM, KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT, - Sebelum dikenal sebagai penguasa yang memimpin Indonesia selama tiga dekade, Soeharto hanyalah anak desa yang hidup dalam kesederhanaan.
Ia lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta, dari keluarga petani miskin. Masa kecilnya jauh dari kemewahan, membantu orang tua di sawah, menggembala sapi, dan bekerja serabutan untuk bertahan hidup.
“Kalau ingin makan enak, ya kerja keras. Kalau ingin dihormati, ya berbuat baik,” begitu pesan ibunya, Sukirah, yang kelak menjadi pegangan hidup Soeharto.
Kisah ini tercatat dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Cendana Press, 1989).
Dari desa kecil itu, semangat kedisiplinan dan keteguhan mulai tumbuh. Ia tak pernah bermimpi menjadi presiden hanya ingin hidup terhormat sebagai orang Jawa yang memegang teguh prinsip: “Sapa salah seleh.” Siapa yang salah, ia harus berani menerima akibatnya.
Soeharto muda masuk sekolah militer Belanda, KNIL, kemudian bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang pada 1943.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia langsung bergabung ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal TNI.
Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, Soeharto memimpin berbagai operasi di Yogyakarta dan sekitarnya. Ia dikenal disiplin dan berhati-hati — dua sifat yang kelak menjadi ciri khasnya sebagai pemimpin.
Salah satu pengorbanan besar terjadi pada masa Agresi Militer Belanda II (Desember 1948). Saat Yogyakarta diserbu, Soeharto bersama pasukan TNI melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949, sebuah aksi militer yang menegaskan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berjuang.
“Tanpa operasi itu, bangsa Indonesia bisa saja dianggap menyerah,” tulis sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (Depdikbud, 1984).
Dalam operasi tersebut, Soeharto mempertaruhkan nyawa. Ia memimpin langsung pasukannya dari garis depan, menembus blokade Belanda yang mengepung kota Yogyakarta.
Bagi banyak veteran, inilah momen ketika pengorbanan Soeharto menjadi nyata, bukan hanya demi kemenangan, tetapi demi eksistensi Republik.
Pasca kemerdekaan, Soeharto terus meniti karier militer. Ia dipercaya memimpin Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Namun perjalanan ini tidak selalu mulus.
Pada 1959, ia sempat dicopot dari jabatan karena kasus penyelundupan gula dan beras, yang diduga dilakukan untuk membantu ekonomi prajuritnya.
Peristiwa itu menjadi luka pribadi sekaligus pelajaran pahit: kekuasaan bisa merusak, bahkan di tangan orang baik.
Tapi nasib berbalik. Tahun 1965, ketika Indonesia diguncang Gerakan 30 September (G30S/PKI), Soeharto mengambil alih komando dan memimpin pasukan menumpas pemberontakan.
Dalam kekosongan politik setelah peristiwa itu, Soeharto muncul sebagai figur penyelamat nasional.
Ia menjaga stabilitas negara, mengamankan ibu kota, dan perlahan mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno melalui mekanisme Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966.
Ketika resmi menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 1967, Soeharto mewarisi negara yang porak-poranda — ekonomi hancur, inflasi di atas 600%, dan rakyat hidup miskin.
Ia menegakkan semboyan baru: “Stabilitas Politik dan Pembangunan Ekonomi.”
Selama tiga dekade berikutnya, Soeharto membangun Indonesia dari fondasi lemah menjadi negara yang disegani di Asia.
Program Revolusi Hijau, transmigrasi, pembangunan jalan, waduk, sekolah, dan rumah sakit, menjadi simbol keberhasilan Orde Baru.
Rakyat menyebutnya “Bapak Pembangunan Nasional.”
Ekonom Emil Salim dalam Orde Baru dan Tantangan Pembangunan (UI Press, 1995) menulis:
“Soeharto memang keras, tapi kedisiplinannya menanamkan rasa aman dan arah pembangunan yang jelas.”
Namun, stabilitas itu menuntut pengorbanan besar. Kebebasan berpendapat dibatasi. Lawan politik dibungkam. Media dikontrol ketat. Banyak aktivis dan mahasiswa hilang tanpa jejak.
Seiring waktu, pengorbanan berubah wajah.
Jika di masa perjuangan Soeharto mengorbankan darah dan tenaga untuk kemerdekaan, di masa Orde Baru ia mengorbankan kebebasan rakyat demi stabilitas.
Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Tragedi Tanjung Priok (1984), Santa Cruz di Timor Timur (1991), dan penculikan aktivis 1998 menjadi noda dalam sejarah panjang pemerintahannya.
Bagi sebagian rakyat, Soeharto adalah pahlawan pembangunan.
Namun bagi sebagian lain, ia simbol otoritarianisme dan ketakutan.
Human Rights Watch (1999) mencatat:
“Di bawah kekuasaan Soeharto, lebih dari satu juta orang ditahan tanpa pengadilan atas tuduhan simpatisan PKI.”
Di sisi lain, keberhasilan ekonomi tidak bisa diabaikan.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun, angka kemiskinan turun drastis, dan Indonesia menjadi bagian dari negara berkembang paling cepat di Asia Tenggara.
Pengorbanan Soeharto di sini menjadi paradoks:
Ia membangun dengan tangan besi, tapi juga menciptakan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Reformasi 1998: Kejatuhan Sang Bapak Pembangunan
Setelah 32 tahun berkuasa, badai datang.
Krisis moneter Asia tahun 1997 membuat nilai rupiah anjlok, harga-harga naik, dan rakyat mulai marah.
Demonstrasi besar-besaran dipimpin mahasiswa di seluruh Indonesia menuntut reformasi dan pengunduran diri Soeharto.
Pada 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, dengan wajah tenang namun mata yang berat, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya.
“Saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia,” katanya pelan.
“Semoga bangsa ini tetap bersatu.”
Setelah itu, ia menjalani masa senja dalam diam di kediamannya, Cendana.
Ia tidak pernah benar-benar diadili, meski dituduh melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, dimakamkan di Astana Giribangun, Solo, di samping istrinya, Ibu Tien Soeharto.
Warisan Soeharto masih menjadi perdebatan panjang.
Sebagian menganggapnya pahlawan yang menyelamatkan bangsa dari kehancuran pasca-1965.
Sebagian lain melihatnya sebagai diktator yang mengorbankan demokrasi demi kekuasaan.
Namun tidak bisa disangkal: pengorbanan yang ia berikan — waktu, tenaga, bahkan reputasi — menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.
Pada 10 November 2025, pemerintah Indonesia akhirnya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Keputusan ini menimbulkan reaksi beragam.
Reuters (10 November 2025) menulis:
“Indonesia grants national hero status to late strongman President Suharto.”
“Rights groups condemn the decision, citing his authoritarian rule and corruption.”
(Reuters.com )
The Guardian juga menyoroti hal serupa:
“Fury as Indonesia declares late authoritarian ruler Suharto a national hero.”
(TheGuardian.com )
Bagi keluarga korban pelanggaran HAM, pemberian gelar itu dianggap melukai memori sejarah.
Namun bagi sebagian veteran dan masyarakat pedesaan, Soeharto tetap dikenang sebagai pemimpin yang membawa kesejahteraan nyata.
Soeharto adalah cermin dari dua sisi kemanusiaan — kebaikan dan kekuasaan.
Ia memberi bangsa ini stabilitas dan arah, namun juga membungkam suara-suara yang berbeda.
Ia berkorban untuk bangsa, tapi bangsa pun berkorban untuk mempertahankannya.
Sejarawan Asvi Warman Adam (LIPI) pernah mengatakan dalam wawancara dengan Tempo (2008):
“Soeharto adalah sosok yang harus dipahami, bukan sekadar dihujat atau dipuja. Dalam dirinya ada perjuangan dan dosa yang sama besar.”
Kini, setiap kali nama Soeharto disebut, bangsa Indonesia dihadapkan pada pertanyaan moral yang sama:
Apakah pengorbanan demi kemajuan bisa membenarkan luka yang ditinggalkan?
Sumber Referensi:
Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya – Cendana Press (1989)
Sejarah Nasional Indonesia VI – Sartono Kartodirdjo, Depdikbud (1984)
Emil Salim – Orde Baru dan Tantangan Pembangunan (UI Press, 1995)
Human Rights Watch Report (1999)
Reuters (10 November 2025) – Indonesia grants national hero status to late strongman President Suharto
The Guardian (2025) – Fury as Indonesia declares Suharto a national hero
Tempo.co (2008) – Asvi Warman Adam: “Soeharto harus dipahami, bukan dipuja.”
BandungBergerak.id – Cacat Gelar Pahlawan Soeharto (2024)