![]() |
( Foto dokumenatsi 7detikdotcom : Penulis Yuliakhansa dan Foto Pengulas Puisi Irzi.) |
7Detikdotcom SASTRA PUISI DALAM ULASAN -
Hai, bro and sis!
Kali ini, kita
kedatangan puisi-puisi aduhai nan elegan karya Piet Yuliakhansa, yang
jika kita menyimak judulnya saja sudah membuat kita terbang ke alam
reflektif penuh perenungan. Impresindria, Filantropi, dan Dendang Aksara
adalah tiga puisi yang penuh dengan makna implisit, simbolisme, dan
metafora yang tidak sekadar unyu, tapi juga membuat hati dan otak kita
berpikir keras sambil merasa anggun.
***
Puisi 1: Impresindria;
Cahaya, Luka, dan Pemandu Rasa yang Penuh Metafora
Repih cahaya
urai liku perjalanan
dalam arah memandu rasa
berkelindan rindu
sepasang kunang-kunang
iringi kedatangan
yang telah kau dengar derapnya
lembut menyesap luka
saat angin lirih bercerita
empaskan tabir ketiadaan
meretas batas
dalam bejana ruang dadamu.
Di
puisi pertama ini, Piet menghadirkan nuansa magis yang diselimuti oleh
imagery visual dan auditif yang sangat indah. Dia langsung membuka
dengan kalimat “Repih cahaya”, bro and sis!
Ini
super poetik, di mana cahaya digambarkan tidak cuma sebagai sinar
biasa, tetapi repih—fragmen kecil yang mungkin remuk namun tetap
menerangi. Dari sini, kita sudah bisa membaca bahwa ini tentang
perjalanan yang penuh kerumitan, tetapi tetap ditemani oleh
fragmen-fragmen harapan.
“Berkelindan
rindu” adalah contoh puitis dari bagaimana perasaan bisa teranyam atau
berkelok-kelok bersama perjalanan emosional kita. Metafora tentang
sepasang kunang-kunang yang mengiringi kedatangan itu, benar-benar
menghadirkan visualisasi yang magis—kunang-kunang di sini jadi simbol
harapan kecil yang setia menemani, walaupun di tengah kegelapan.
Piet
seperti memberitahu, bahwa meskipun luka itu ada, tetapi ada elemen
lembut yang hadir, seperti kunang-kunang yang menyinari jalan di tengah
gelapnya hati yang terluka.
“Lembut
menyesap luka” itu deep banget, bro and sis. Luka yang dihadapi
pelan-pelan dihisap, seolah-olah ada proses penyembuhan alami yang
terjadi.
Lalu, ada angin
lirih bercerita—ini personifikasi yang cakep banget! Angin yang
biasanya cuma kita rasakan, di sini jadi sosok yang bercerita,
menyebarkan kisah yang mungkin menyakitkan, tetapi penting buat
didengar.
Dan, “empaskan
tabir ketiadaan”? OMG, ini metaforanya super keren. Tabir ketiadaan
diempaskan, membuka realitas yang sebelumnya tersembunyi, seolah-olah si
aku lirik akhirnya bisa melihat lebih dalam setelah semua penutup
jatuh.
Penggunaan
enjambemen dalam puisi ini juga sangat smooth, membuat kita merasa
mengalir dari satu imaji ke imaji lain tanpa jeda yang mengganggu. Bait
ini seperti pelukan lembut yang dipenuhi dengan momen refleksi batin
yang indah.
***
Puisi 2: Filantropi;
Antara Perjalanan Batin dan Aksara yang Tak Terhenti
Hampir separuh perjalanan
usai kau racik
jangan lagi membenam
biarkan aksara menguntai makna
usah menggumam
di balik tebing yang cekam
hantarkan pekat sunyi
dimana larik enggan tertulis
puisi membiru
rindu menderu.
Nah, puisi kedua ini adalah kombinasi sempurna antara refleksi personal dan proses kreatif menulis yang penuh tantangan.
“Hampir
separuh perjalanan” di sini seperti refleksi hidup yang sudah setengah
jalan, bro and sis. Sudah banyak yang dilewati, banyak yang diracik
(seperti hidup yang kita bentuk sendiri), tapi di sini ada peringatan
untuk tidak lagi "membenam".
Ini seperti nasihat, agar kita jangan tenggelam lagi dalam rasa ragu, dalam ketakutan, atau bahkan dalam sunyi yang pekat.
Penggunaan
frasa "aksara menguntai makna" menunjukkan bahwa kata-kata—baik itu
dalam puisi atau kehidupan nyata—harus dibiarkan berkembang dan
membentuk artinya sendiri. Ini teknik metafora yang super dalam untuk
membicarakan, bagaimana kita harus membuka diri pada ekspresi penuh dan
tidak boleh lagi menggumam dalam cekaman hidup.
Menggumam
itu kayak perasaan tertekan atau ragu-ragu, bro and sis, dan Piet
dengan elegan berkarta: sudah cukup, bro and sis! Waktunya kita
mengeluarkan semua!
Di
sini, ada metonimi di kalimat “puisi membiru”. Puisi diibaratkan hidup
yang mulai berwarna (atau bahkan terluka karena membiru, bisa juga
dikaitkan dengan memar atau kesedihan).
Tetapi
yang paling kuat dari bait ini adalah rindu menderu. Rindu yang
tiba-tiba meledak-ledak seperti ombak besar, ini simbol bahwa perasaan
yang selama ini ditekan atau membenam harus akhirnya dikeluarkan dengan
penuh gairah.
***
Puisi 3: Dendang Aksara;
Cahaya, Sukma, dan Perjalanan Emosi yang Bergaung
Kugaungkan yang terasa dan menjelma
larik-larik membuncah
menerobos pintu-pintu
selaksa cahaya
terang memenggal nestapa
terserak berloncatan
tinggi menggapai
sebelum akhirnya kembali menapak
dengan genggam
buliran gemerlap
ranah suka
menyelubung Sukma.
Dendang
Aksara adalah salah satu puisi yang OMG metafornya sangat kaya . Dari
judulnya saja sudah terlihat. Piet membicarakan soal bunyi atau gaungan
dari aksara yang menyuarakan perasaan dan pikiran.
Bait
pertama, “Kugaungkan yang terasa dan menjelma," langsung menunjukkan
bahwa perasaan yang tersembunyi kini sudah tidak dapat dibendung
lagi—Dia menjelma menjadi larik-larik puisi yang membuncah, berhamburan
dengan energi.
Bagian
menerobos pintu-pintu, adalah metafora luar biasa untuk menggambarkan,
bagaimana puisi dapat menjadi medium untuk menerobos batas-batas yang
mungkin selama ini mengekang.
Puisi
diibaratkan seperti cahaya yang memenggal nestapa—ini cantik banget!
Cahaya menjadi agen perubahan, yang akhirnya menghapus kesedihan. Ada
nuansa paralelisme di sini, di mana cahaya dan aksara bekerja sama untuk
membawa kelegaan.
Lalu,
terserak berloncatan seperti menggambarkan perasaan-perasaan yang
akhirnya bisa terungkap dengan bebas. Ada imaji kinetik yang kuat di
sini—segala perasaan, rindu, harapan, suka, semuanya meloncat-loncat
sebelum akhirnya menapak. Ini seperti proses pembersihan diri yang dulu
terasa berat, tetapi setelah dilepaskan, rasanya ringan.
Dan
genggam buliran gemerlap ranah suka? Ini seperti puncak dari perasaan
bahagia, di mana semuanya terasa berharga dan indah. Kata buliran
gemerlap seolah-olah mengacu pada harapan-harapan kecil yang indah tapi
kadang tak terlihat, yang kemudian menyelimuti Sukma atau jiwa. Piet
membawa kita ke klimaks emosional yang penuh sukacita setelah melalui
proses panjang penemuan diri.
***
Simfoni Puitis dari Rasa, Rindu, dan Cahaya
Nah,
bro and sis, puisi-puisi Piet Yuliakhansa ini adalah eksplorasi luar
biasa tentang perjalanan batin, rindu yang terpendam, dan harapan yang
membuncah. Setiap puisinya penuh dengan simbolisme yang kuat, dari
cahaya yang memenggal nestapa hingga rindu yang menderu.
Piet
dengan cerdas menggunakan berbagai figur bahasa seperti metafora,
personifikasi, paralelisme, dan enjambemen untuk menciptakan puisi yang
tidak sekadar indah, tetapi juga penuh makna mendalam.
Setiap
baitnya seperti simfoni emosional yang membuat kita merasa tersentuh,
baik itu dari rasa luka, rindu, atau bahkan kebahagiaan yang akhirnya
terwujud. Piet ini membuat puisi terasa seperti ruang untuk merenung,
ruang untuk merayakan perasaan-perasaan yang selama ini mungkin
tertahan.
So, darling, enjoy the beauty of these poems, because they’re absolutely fabulous and full of depth!
IRZI, 2024
Penulis:
Ikhsan
Risfandi aka IRZI Lahir di Jakarta 1985. Eks gitaris Jazz yang banting
gitar nulis puisi Jess & Beatawi juga sesekali cerpen. Buku puisi
pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat di Sindikat Sastra,
Biasalah…, sesekali nongkrong di Kolektif Atelir Cermai, Rawamangun
serta tengah menyiapkan dua buku puisi berikutnya Repertoar Nokturnal
& Suara Berisik dari Depan Langkan