( Nurul
Huda Bakhtiar. Penulis, Penyair dan Sastrawati Indonesia.)
7Detikdotcom SASTRA PUISI -
1/
BIRU
Pernah
suatu hari engkau bertanya. Kenapa aku menyukai warna biru. Lalu di
lain waktu baru bisa kujawab. "Aku menyukai warna biru, seperti aku
merindukan warna-warna yang lain. Mungkin perhatianmu yang perlu di
fokuskan lagi."
Biru
seringkali kuajak menangis dan tertawa. Mengurai duka meleburnya menjadi
sumber bahagia. Warna lain bukan tidak menemaniku, mereka lebih memilih
menghangatkan jiwa perinduku, yang sering melankolis. Ia setia, seperti
kesetiaanku padamu.
Pagi
itu, aku melihatmu di balkon sedang termenung. Entah jiwamu sedang
berada di mana, hingga panggilan sayangku dibawa angin lalu. Secangkir
kopi yang kuseduh untukmu, perlahan mulai dingin di meja tanpa dupa. Aku
berlalu, tak berniat mengganggu.
Di
terasku yang sunyi, sekuntum peony merah muda bermekaran. Butiran hujan
penghujung tahun jatuh di helai dedaunannya. Kesyahduan memilin rasa
yang entah. Tetiba, sepasang lengan kekar memeluk hangat. Lenyap sudah
seluruh sangka.
"Hhmm,
kamu lagi melamunkan apa, sesayangku?" Suara sahaja itu, masih yang
dulu, melingkarkan cinta di sepanjang waktu. Semoga apa-apa yang
diminta, Yang Kuasa menyegerakannya.
Kota lautan mimpi, 241224
#sakalawang
2/
SEPENGGAL CERITAMU, SORE ITU
Aku
sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan ayah, menyusul ditinggal
ibu untuk selamanya. Kemudian, satu persatu saudaraku juga kembali
berpulang menuju keabadian. Sangat menyedihkan dan sakit, dililit
kesepian dan hidup berkalang sunyi. Tak ada lagi yang berisik
menasehati, tiga atau empat kali sehari.
Dari
situlah aku belajar, bahwa kehilangan adalah cara terbaik untuk
belajar, ikhlas tanpa batas. Namun, sampai saat ini, aku juga belum
lulus ujian itu, aku masih dihujani rindu dan kesepian yang dalam.
Kalau
boleh meminta, jangan ada lagi perpisahan, jangan ada lagi kepergian,
sebab kenangan yang tertinggal benar-benar tak pernah tenggelam. Rindu
selalu mengangkatnya ke permukaan, menyuburkannya bagai jamur di musim
hujan.
Keletihanku sudah
koma di perjalanan ini, sementara perjuanganku masih panjang dan
berliku. Membesarkan anak-anak harapan, aku butuh tenaga ekstra dari
mereka. Hujan desember dan puisiku yang basah.
Jakarta, Desember 2024
3/
SEKUNTUM ASA
Sebatang
pohon puisi, yang kutulis di selembar saputangan rindu. Namamu kurenda
dengan tinta angan-angan. Kutitipkan harap pada sekuntum asa, yang
sempat hilang di antara ragu.
"Hai,
kamu yang sedang berjalan di sampingku, rayulah aku serindang hujan
menjanjikan teduh. Maka, akan kupersembahkan cinta tanpa tapi."
Di
pelataran senja sedikit dungu. Ranting-ranting kebekuan di
tungku-tungku kekesalan, membakar rasaku yang gundah. Entah kau yang
gila-gilaan mencintaiku, atau aku yang ugal-ugalan mengartikan.
Aah,
cinta, jangan jatuh dulu. Aku sedang mempersiapkan pesta sakral
menyambutmu. Kepalaku masih penuh dengan dedaunan gendang perang,
sementara jiwaku sedang memagut damai bersamamu.
#Sakalawang
Bionarasi: