![]() |
( Illustrasi, pasangan Gen-Z lakukan pernikahan dini. Dok. 7detikdomcom .) |
7Detikdotcom ARTIKEL - Di beberapa daerah, menikah dalam usia muda mungkin masih terbilang wajar, disebabkan masih kuatnya pengaruh adat, tradisi, hingga agama tertentu dalam lingkungan sosial. Sehingga, pola pikir dalam mengambil keputusan menikah muda didukung oleh berbagai pihak, entah sebagai solusi atas kecemasan kenakalan remaja, hamil di luar nikah, atau stigma negatif lingkungan dengan pergaulan anak-anak yang beranjak dewasa.
Tetapi
pada era globalisasi seperti sekarang pun tradisi menikah muda masih
menjadi pilihan di kalangan Gen-Z dengan berbagai alasan. Lantas,
apakah ini bisa dipandang sebagai solusi yang tepat atau hanya menambah
problematika?
Seperti
yang kita ketahui bahwa pernikahan adalah fase di mana dua orang pribadi
berbeda (Lelaki dan Perempuan) menjalani sebuah ikatan sakral bersama,
suatu perjalanan panjang dengan berbagai konsekuensi tanggung jawab yang
memerlukan kematangan emosional dan kesiapan psikologis keduanya
sebagai pasangan yang memunyai niat suci membangun rumah tangga.
Dalam
perjalanan pernikahan itu pula sangat mungkin tercipta konflik-konflik,
karena kehidupan tidak pernah statis, zaman penuh dengan perubahan yang
mungkin berdampak kepada dua pribadi. Apakah itu dari faktor ekonomi
yang menjadi aspek krusial sebuah rumah rangga, serta berdampak kompleks
terhadap keutuhannya di usia pernikahan yang terus bertambah. Ataupun
faktor lain, seperti latar belakang keluarga, kebutuhan akan tempat
tinggal, sikap dan pribadi pasangan itu sendiri yang mungkin sampai pada
titik jenuh perasaan di antara mereka.
Adapun
beberapa alasan kalangan Gen-Z memutuskan untuk menikah muda yang
pertama, karena media sosial, mudah mengakses komunikasi atau menyimak
influencer yang memperlihatkan gambaran menikah muda dengan keindahan,
keharmonisan dan keromantisan. Dengan itu kalangan Gen-Z benar-benar
mengidolakan sehingga bisa menjadi alasan mengikuti jejak itu.
Yang
kedua, tekanan dari lingkungan sosial, seperti keluarga, kerabat yang
mengharuskan untuk mengakhiri masa lajang pada usia yang belum
selayaknya, karena pola pikir yang masih menganut kepada tuntutan
tradisi.
Pada analisis
survei penduduk antar sensus (SUPAS) yang dilansir pada Kompasiana
menyatakan, bahwa 3.000 perempuan berusia 20-24 tahun dan menikah
pertama kali di usia sebelum 15 tahun, di sisi lain 1 dari 100 laki-laki
menikah pertama kali di usia 20-24 baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. Badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (BKKBN)
juga memberikan pedoman mengenai usia minimun untuk menikah, hal ini
mempertimbangkan berbagai aspek seperti kesiapan reproduksi, kesiapan
biologis dan juga kesiapan psikologis (BKKBN, 2017).
Pembahasan
ini pun sempat dikupas dalam acara Hari Amal Bhakti (HAB) ke-79,
Kementerian Agama Republik Indonesia, Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan
dan Keagamaan yang menggelar Webcast Spesial bertajuk "Pernikahan Dini
di Kalangan Gen Z: Problematika dan Solusinya (21/1/2025).
Kepala
Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Mastuki membuka
diskusi dengan menyoroti permasalahan sosial pernikahan dini yang marak
terjadi di kalangan Gen-Z yang melek teknologi. Ia menjelaskan bahwa UU
No. 16 Tahun 2019 memungkinkan dispensasi pernikahan dengan alasan
tertentu, seperti situasi mendesak akibat kehamilan, tekanan norma
sosial dan agama, dan minimnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi.
Dalam
konteks agama Islam, Mastuki menegaskan bahwa pernikahan dini tidak
secara eksplisit dilarang, tetapi kesiapan mempelai menjadi faktor utama
yang harus dipertimbangkan.
“Pernikahan
bertujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
(SAMARA), Mastuki mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat keempat
global dalam kasus pernikahan anak, meski angka tersebut sudah menurun
ke 8,60% pada 2022, mendekati target pemerintah sebesar 8,74%. Faktor
utama pernikahan dini meliputi norma agama, sosial, budaya, minimnya
edukasi, tekanan ekonomi keluarga, serta keinginan menghindari kehamilan
di luar nikah.
Mengatasi
pernikahan dini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan
masyarakat. Pemerintah, termasuk meningkatkan usia minimal menikah.
Selain itu, juga pendidikan seks yang komprehensif serta dukungan dari
semua pihak. Dengan beberapa langkah ini, kita dapat bersama-sama
mencegah pernikahan dini dan membangun masa depan yang lebih baik bagi
generasi muda. dikutip dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI.