( Foto: Erna Winarsih Wiyono.)
7Detikdotcom - LURINDA OPINI - Tahun 2025. Bayangkan, Ibu sedang berbelanja online dan
tiba-tiba menemukan berita tentang penculikan anak di dekat rumahnya,
disertai foto yang terlihat sangat nyata. Ketakutan langsung melanda.
Namun, setelah dicek lebih lanjut, ternyata berita itu palsu. Inilah
realita navigasi informasi di Indonesia tahun 2025: tsunami data yang
menerjang kita setiap detiknya, membawa peluang dan ancaman yang sama
besarnya.
Teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) telah melampaui batas geografis dan
temporal, menciptakan ekosistem informasi global yang kompleks, dinamis,
dan sangat rentan terhadap manipulasi. Kecepatan penyebaran informasi
telah mencapai titik di mana berita, opini, propaganda, dan ujaran
kebencian dapat menyebar secara instan ke seluruh penjuru Indonesia,
menciptakan lanskap informasi yang penuh tantangan dan ambiguitas.
Sebagai contoh, berita tentang bencana alam seperti gempa bumi di suatu
daerah dapat menyebar secara viral dalam hitungan menit, namun
seringkali disertai informasi yang salah atau bahkan sengaja
diputarbalikkan untuk tujuan politik tertentu, seperti menyalahkan pihak
tertentu atas kurangnya persiapan atau tanggap darurat. Di tengah
lautan data ini, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana kita dapat
menavigasi lanskap ini dengan bijak, membedakan fakta dari fiksi, dan
melindungi diri dari ancaman disinformasi yang semakin canggih?
Kemajuan
teknologi, terutama kemunculan platform media sosial seperti Facebook,
Instagram, WhatsApp, dan Twitter (kini X), serta aplikasi pesan instan
seperti Telegram dan WhatsApp, telah mendemokratisasikan produksi dan
distribusi informasi secara radikal. Setiap individu, dengan akses ke
smartphone dan koneksi internet, berpotensi menjadi produsen konten,
berbagi informasi, dan membentuk opini publik.
Munculnya
jurnalisme warga, di satu sisi, merupakan perkembangan yang positif.
Contohnya, selama demonstrasi terkait revisi UU Cipta Kerja, warga dapat
menggunakan media sosial untuk berbagi video dan foto kejadian secara
real-time, memberikan perspektif yang berbeda dari laporan media arus
utama. Namun, ini juga menciptakan kerentanan terhadap penyebaran
informasi yang tidak terverifikasi, tidak akurat, bahkan disinformasi
dan misinformasi yang disengaja. Misalnya, selama Pilkada serentak,
informasi yang salah tentang calon tertentu, seperti isu SARA atau
tuduhan korupsi tanpa bukti kuat, menyebar luas melalui media sosial,
mempengaruhi pilihan pemilih dan menciptakan polarisasi. Bagaimana kita
dapat memilah informasi yang benar di tengah arus deras ini?
Algoritma
media sosial, yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna,
seringkali malah memperkuat filter bubble dan echo chamber. Seseorang
yang sering membaca berita dari sumber yang cenderung mendukung
pemerintah akan lebih sering disajikan dengan konten yang serupa,
memperkuat pandangan politiknya dan membuatnya kurang terpapar kritik
atau perspektif yang berbeda. Ini memperkuat polarisasi, menghambat
dialog konstruktif, dan menciptakan kondisi subur bagi penyebaran
disinformasi. Individu yang terjebak dalam echo chamber menjadi lebih
rentan terhadap manipulasi karena kurang terpapar perspektif berbeda dan
informasi yang dapat menantang keyakinan mereka. Kampanye disinformasi
yang menggunakan bot dan akun palsu dapat menyebarkan informasi
menyesatkan secara efektif di dalam echo chamber, seperti berita palsu
tentang penculikan anak yang dikaitkan dengan kelompok agama tertentu,
yang kemudian memicu keresahan dan bahkan kekerasan. Bagaimana kita
dapat melepaskan diri dari jebakan ini?
Perkembangan
kecerdasan buatan (AI) semakin memperumit situasi. AI dapat digunakan
untuk otomatisasi tugas jurnalistik, meningkatkan efisiensi dan
kecepatan pelaporan. Namun, bias algoritmik, yang tertanam dalam data
pelatihan AI, dapat memperkuat dan memperluas bias yang sudah ada dalam
masyarakat. Sistem AI yang dilatih dengan data yang mengandung bias
etnis dapat menghasilkan output yang memperkuat stereotip etnis tertentu
dalam konteks Indonesia yang majemuk. Transparansi dalam penggunaan AI
dalam jurnalistik juga menjadi isu penting; kekurangan transparansi
dapat membuat sulit untuk melacak asal-usul informasi dan memverifikasi
akurasinya. Lebih jauh lagi, ketergantungan berlebihan pada AI dapat
mengurangi peran kritis manusia dalam proses jurnalistik. AI mungkin
dapat menghasilkan ringkasan berita tentang demonstrasi dengan cepat,
tetapi tidak dapat menggantikan peran jurnalis dalam melakukan
investigasi mendalam untuk memahami akar permasalahan sosial dan politik
yang memicu demonstrasi tersebut. Bagaimana kita dapat memastikan AI
digunakan secara bertanggung jawab dan etis?
Peran
media massa arus utama juga mengalami transformasi. Mereka berjuang
untuk mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan publik di tengah
persaingan dengan sumber informasi alternatif dan penyebaran
disinformasi yang meluas. Banyak media arus utama di Indonesia
menghadapi tantangan finansial karena penurunan pendapatan iklan dan
persaingan dengan platform media sosial. Namun, mereka tetap memiliki
peran penting.
Mereka
memiliki sumber daya dan keahlian untuk melakukan verifikasi fakta,
investigasi mendalam, dan kontekstualisasi informasi, hal-hal yang
seringkali kurang dalam informasi yang beredar di platform media
sosial. Investigasi jurnalistik yang mendalam dapat mengungkap praktik
korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah atau perusahaan besar,
informasi yang seringkali dikaburkan atau diputarbalikkan oleh
pihak-pihak yang terkait. Bagaimana kita dapat mendukung media arus
utama yang bertanggung jawab?
Menghadapi
tantangan ini, strategi penanggulangan yang komprehensif dan
multi-faceted sangat diperlukan. Penguatan literasi digital menjadi
kunci. Masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan kritis untuk
mengevaluasi sumber informasi, mengidentifikasi bias, dan membedakan
fakta dari opini. Program pendidikan media di sekolah-sekolah di
Indonesia dapat mengajarkan siswa cara mengenali informasi yang salah
dan melakukan verifikasi fakta menggunakan sumber-sumber yang
terpercaya.
Kerjasama
antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil
diperlukan untuk mengembangkan program literasi digital yang
komprehensif dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, termasuk
kelompok-kelompok yang rentan terhadap disinformasi.
Selain
itu, perlu adanya peningkatan mekanisme verifikasi fakta yang lebih
efektif dan responsif. Lembaga verifikasi faktual independen perlu
didukung dan diberi sumber daya yang memadai untuk mengatasi banjir
informasi yang tidak akurat. Kolaborasi antara lembaga verifikasi
fakta, platform media sosial, dan media arus utama juga penting untuk
memastikan bahwa informasi yang menyesatkan dapat diidentifikasi dan
ditangani dengan cepat dan efektif.
Platform
media sosial dapat bekerja sama dengan lembaga verifikasi fakta untuk
menandai informasi yang salah dan membatasi penyebarannya di Indonesia.
Regulasi yang tepat, yang melindungi kebebasan berekspresi namun juga
mencegah penyebaran disinformasi yang berbahaya, juga perlu
dipertimbangkan, dengan memperhatikan implikasi terhadap kebebasan
berbicara dan hak asasi manusia dalam konteks Indonesia.
Di
tahun 2025 dan seterusnya, navigasi di lautan informasi Indonesia
membutuhkan lebih dari sekadar kewaspadaan; kita perlu literasi digital
yang kuat dan kolaborasi yang solid antar berbagai pihak. Bayangkan
dampak positif jika setiap warga Indonesia mampu mengenali dan melawan
disinformasi.
Mari
bersama-sama tingkatkan literasi digital kita, laporkan informasi yang
salah, dan dukung lembaga verifikasi fakta. Masa depan informasi
Indonesia ada di tangan kita. Bertindaklah sekarang, sebelum informasi
palsu meracuni kehidupan kita.
Jakarta, 1 Januari 2025.
BIODATA PENULIS:
( Erna Winarsih Wiyono. Adalah Seorang, Visual Artist, Writer, Journalist, Visual Arts Educator, Creative Director, Indonesia Dancer. )