( Ikhsan Risfandi )
7DetikDotCom - SASTRA - Puisi Kidung Murung Petani karya Warsono Abi Azzam
adalah elegi yang penuh dengan kesedihan dan ketidakpastian hidup para
petani. Warsono berhasil menyajikan suasana muram melalui simbol alam
dan kiasan yang menggambarkan realitas pahit kehidupan agraris.
Di
dalam puisi ini, kita melihat perasaan terasingnya petani dari alam
yang dulu menjadi teman setia, serta bagaimana nilai hidup mereka
terkikis oleh zaman yang kian berorientasi pada keuntungan material.
Melalui bait-bait puitis, Warsono menyampaikan keterasingan,
ketidakberdayaan, dan harapan yang kian pudar.
Bait 1:
Langit menunduk
Seakan tahu ada yang lelah di bawahnya
Sepasang tangan yang tak pernah selesai menyulam harapan
Dari tanah yang mulai lupa bagaimana caranya subur
Bait
pembuka ini langsung memunculkan kesan elegi yang mendalam. “Langit
menunduk” adalah personifikasi yang memberi kesan bahwa alam turut
merasakan kesedihan petani.
Langit
seolah memahami “ada yang lelah di bawahnya”—sosok petani yang terus
bekerja keras, namun mulai kehilangan harapan karena tanah yang semakin
tidak subur. “Tangan yang tak pernah selesai menyulam harapan” adalah
metafora yang kuat, menggambarkan bagaimana petani selalu berjuang
meskipun harapan mereka mulai terurai.
Frasa
“tanah yang mulai lupa bagaimana caranya subur” menunjukkan degradasi
alam yang terjadi, seolah-olah tanah yang dulu subur kini kehilangan
kekuatannya, mencerminkan kekecewaan petani terhadap perubahan kondisi
alam yang tidak lagi mendukung kehidupan mereka.
Bait 2:
Matahari mengulum senyum getir
Di balik peluh yang menetes seperti doa-doa
Tanah tak lagi mendengar seperti dulu
Batu-batu lebih banyak dari benih yang ditabur
Bait
ini memperkuat kesan ironis dalam kehidupan petani. “Matahari mengulum
senyum getir” adalah metafora yang cerdas, mengisyaratkan bahwa
matahari, yang biasanya dianggap simbol kehidupan dan energi, kini hanya
menjadi saksi pahit dari kerja keras yang tidak membuahkan hasil.
“Peluh
yang menetes seperti doa-doa” menggambarkan betapa dalamnya usaha
petani, di mana keringat mereka tidak hanya menunjukkan kerja keras
fisik, tetapi juga menjadi simbol harapan dan doa kepada alam.
Namun,
bait ini juga menggambarkan bahwa tanah, yang dulu menjadi sahabat
petani, kini “tak lagi mendengar.” Alam menjadi tidak ramah, dan lebih
banyak “batu-batu”—simbol dari hambatan dan rintangan—daripada “benih
yang ditabur.” Ini adalah cara yang halus namun kuat untuk menggambarkan
kekecewaan dan ketidakberdayaan petani dalam menghadapi perubahan alam.
Bait 3:
Petani, adalah tubuh yang dibentuk angin
Tulangmu adalah jembatan antara lapar dan kenyang
Namun pada zaman yang menuhankan cuan
Cangkul dan bajakmu terasa tak lebih dari nostalgi
Bait
ini menggambarkan identitas petani yang melekat pada alam, dengan
“tubuh yang dibentuk angin.” Angin di sini bisa dilihat sebagai simbol
kekuatan alam yang membentuk petani, tapi juga menandakan bahwa mereka
terbentuk oleh kondisi yang sering kali berubah-ubah dan tidak pasti.
Tulang
mereka adalah “jembatan antara lapar dan kenyang”—artinya, keberadaan
petani menjadi penentu antara kelaparan dan kesejahteraan bagi
masyarakat, meski mereka sendiri sering kali tidak mendapat cukup
pengakuan atau hasil.
Frasa
“zaman yang menuhankan cuan” sangat relevan dengan kondisi saat ini, di
mana segala sesuatu diukur dari keuntungan material. Di sini, Warsono
menyoroti bagaimana pekerjaan petani yang dulu sangat penting kini
dianggap kuno atau bahkan usang.
“Cangkul
dan bajak” yang dulunya adalah alat utama pertanian kini dianggap
sekadar “nostalgia” di era modern yang semakin kapitalistik.
Bait 4:
Meski tanganmu terus menari di antara batang-batang padi
Seringkali hujan pun tak jadi
Membawa janji yang tak pernah benar-benar ditepati
Di lahan itu engkau bercakap dengan tanah bisu
Bait
ini mengungkapkan ketidakpastian yang terus menghantui para petani.
Meskipun petani terus bekerja keras, “tanganmu terus menari di antara
batang-batang padi,” alam tidak selalu berpihak.
“Seringkali
hujan pun tak jadi” adalah simbol dari janji-janji yang tidak
terpenuhi, baik janji alam (seperti hujan yang diharapkan) maupun janji
dari pihak-pihak lain yang mungkin mengecewakan petani.
“Tanah
bisu” adalah metafora yang menyedihkan, di mana petani berbicara pada
tanah yang tidak lagi merespon. Alam yang dulunya menjadi tempat petani
menggantungkan hidup kini seakan kehilangan kemampuannya untuk
memberikan hasil seperti dulu. Ada rasa keterasingan yang semakin kuat
antara petani dan lahan yang dulu begitu akrab.
Bait 5:
Angin hanya lewat tanpa menyiarkan kabar
Seperti burung-burung pipit lupa sarang
Saban hari engkau tanya langit
Akankah ia kembali membawa hujan yang tak sekadar pembasah daun-daun padi
Di bait ini, Warsono memperkuat rasa keterasingan dan ketidakpastian yang dirasakan petani.
“Angin
hanya lewat tanpa menyiarkan kabar” menunjukkan ketidakpedulian alam
yang dulu memberikan tanda-tanda kehidupan, sementara “burung-burung
pipit lupa sarang” menjadi simbol pergeseran hubungan alam dengan
manusia.
Burung yang
lupa sarang menggambarkan bagaimana alam mulai meninggalkan manusia,
melupakan tempat-tempat yang dulu menjadi bagian penting dari siklus
kehidupan.
Pertanyaan
yang dilontarkan kepada “langit” adalah wujud harapan yang
tersisa—harapannya agar hujan kembali, namun tidak sekadar “pembasah
daun-daun padi.” Petani menginginkan hujan yang membawa kehidupan, bukan
hanya membasahi tanpa memberi hasil yang nyata.
Bait 6:
Di zaman yang kian asing dengan bahasa sabar
Harga yang kauhitung dengan keringat dan darah
Tak pernah sepadan dengan yang mereka tuliskan di meja kaca
Tak pernah sebanding angka-angka di timbangan para tengkulak di sana
Bait
ini memberikan kritik sosial yang tajam terhadap ketidakadilan yang
dihadapi petani. “Zaman yang kian asing dengan bahasa sabar”
menggambarkan bagaimana kesabaran, yang dulu menjadi kekuatan dalam
bertani, kini tidak lagi mendapat tempat di era yang serba cepat dan
materialistis.
Harga
yang dihitung petani dengan “keringat dan darah” tidak pernah sebanding
dengan nilai yang ditetapkan di “meja kaca”—simbol kekuasaan dan bisnis
yang tidak pernah memahami atau menghargai jerih payah petani.
Ketidakadilan ini semakin terasa pada “timbangan para tengkulak,” di mana petani terus dirugikan oleh sistem yang tidak adil.
Bait 7:
Petani engkau adalah Kidung yang dilantunkan senja
Sunyi, tanpa sorak dan tepuk tangan
Di tanah yang pernah menjanjikan hidup dan kehidupan
Kini tersisa remahan mimpi
Seperti bulir-bulir padi yang tertinggal di sela jemari
Bait
penutup ini adalah puncak dari elegi yang menyedihkan. Petani
diibaratkan sebagai “Kidung yang dilantunkan senja”—suara yang indah
namun sunyi, tidak mendapatkan tepuk tangan atau pengakuan.
Di sini, Warsono menunjukkan bahwa meskipun petani memiliki peran penting dalam kehidupan, mereka sering kali dilupakan.
Tanah
yang “pernah menjanjikan hidup dan kehidupan” kini hanya meninggalkan
“remahan mimpi”—seperti bulir-bulir padi yang tertinggal, sisa-sisa
harapan yang masih ada, tetapi tidak cukup untuk membangun masa depan.
Ada perasaan putus asa yang mendalam, tetapi sekaligus ada rasa
bertahan, meskipun esok belum tentu ada hujan.
Elegi Kehidupan Petani yang Semakin Terasing
“Kidung
Murung Petani” adalah puisi yang sarat emosi dan kritik sosial terhadap
kehidupan petani yang semakin tersingkirkan di tengah zaman yang memuja
materialisme.
Warsono
dengan cermat menyusun metafora dan personifikasi untuk menggambarkan
hubungan petani dengan alam yang semakin renggang, serta ketidakadilan
ekonomi yang terus menekan mereka. Puisi ini menyuarakan kesedihan,
kekecewaan, namun juga rasa bertahan yang kuat, meski dunia seakan tidak
lagi berpihak pada mereka.
IRZI – Oktober, 2024
Penulis: