Wahyu Toveng: "Julid Yang Puitik."

( WS Rendra dan Widji Thukul. Dunia Sastra Puisi." 

7DetikDotCom - SASTRA INDONESIA- Menulis puisi adalah sebuah ekspresi dari apa yang terbersit di dalam pikiran seseorang tentang apa yang telah ia rekam dengan panca inderanya, tentu saja seseorang yang menuliskannya memunyai gaya ungkap masing-masing. Sedangkan apa yang  termuat dalam puisi itu tergantung berbagai faktor, baik dari eksternal dan internal si penulis. 

Apakah itu, latar belakang kehidupan sehari-hari, pendidikan, pekerjaan, kondisi lingkungan tempat ia berasal dan diami, keadaan sosial masyarakat, situasi politik, religiusitas, sejarah, alam, keluarga, pasangan hidup dan percintaan, pengamatan mendalam, hubungan dengan relasi, wawasan intelektual, dan lain-lain. 

Jadi saat menyimak suatu karya puisi dapat tercerna situasi puitik seperti apa yang dibangun dan disampaikan pada struktur di dalamnya. Walau mungkin gaya ungkapnya begitu gelap, prismatis, menyiratkan berbagai rupa perasaan, meledak-ledak dan penuh kritikan, lembut dan menenangkan serta memberi pencerahan, begitu satir dan sarkas, hingga lugas dan terang benderang.

Saya sih tersenyum saja ketika menyimak pendapat seorang teman bahwa menulis puisi itu harus menyampaikan hal-hal positif saja dan jangan menyiratkan kebencian, kritik, sindiran, atau dalam istilah netizen, "Julid." Hal itu sebutnya hanya menggambarkan kebodohan penulisnya. 

Entahlah apakah ia tidak pernah menyimak puisi-puisi yang ditulis oleh penyair seperti WS Rendra atau Wiji Thukul, melalui pengamatan dan perenungan mereka terhadap situasi negeri, lingkungan, hingga kekaryaan sesama penyair di masa mereka hidup dan aktif menulis. 

Simak saja puisi dari keduanya yang mengghibahkan keborokan dan kebobrokan situasi saat itu dengan kebencian atau julid yang puitik khas mereka masing-masing.

SAJAK SEBATANG LISONG
(WS. Rendra)

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit 
dua tiga cukong mengangkang 
berak di atas kepala mereka
matahari terbit fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya 
tetapi pertanyaan pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
  
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan
termangu mangu di kaki dewi kesenian

bunga bunga bangsa tahun depan
berkunang kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra­­­­­­­­­­­

kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing
diktat diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa desa
mencatat sendiri semua gejaladan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

APA GUNA
(Wiji Thukul)

Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong

Di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah

Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu


Lihatlah baik-baik kedua puisi tersebut, penuh dengan kebencian dan kejulidan dua penulisnya terhadap situasi, terhadap kekuasaan dan kebijakannya yang tidak berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. 

Tetapi kedua penyair tersebut membangun kebencian dan kejulidan yang puitik, apakah mereka bodoh? Tidak! 

Intelektual mereka di atas rata-rata, ghibahan mereka tentang situasi dan kondisi penderitaan rakyat adalah contoh bagaimana semestinya penyair musti hidup berkarya dan menyelamatkan kehidupan. Penyair semestinya menulis bukan hanya hal-hal positif dari suatu keadaan, bukan hanya curhat tentang perasaannya kepada lawan jenis dan dosa-dosa kebodohannya yang ia perbuat sendiri. Artinya penyair jangan cuma bercerita tentang dirinya sendiri di dalam karya puisi.

Lihatlah betapa julidnya Rendra menyebut kalangan penyair di masa itu dengan sebutan "Penyair-Penyair Salon", atau julidnya Wiji Thukul yang sarkas menyindir, "Apa gunanya punya ilmu, Apa gunanya baca buku."

Keduanya menulis hal-hal negatif dari kebijakan penguasa, keduanya merekam penderitaan masyarakat yang luput diperhatikan oleh pemangku kekuasaan, keduanya menyindir situasi pendidikan, tingkah polah sesama penyair yang tidak peka terhadap realita persoalan di kehidupan sekitar. Keduanya menulis hal-hal di luar dirinya. Keduanya berhasil mengemas kebencian dan julid secara puitik. Keduanya berghibah tentang ketimpangan sosial yang membuat panas telinga penguasa. Keduanya menulis puisi dan bersastra tidak untuk gaya-gayaan dan selfa-selfie semata. 

Kritik, sindiran, sudah sepantasnya dilakukan oleh seorang seniman, bahkan Iwan Fals, terkenal sebagai seorang musisi yang kerap menyuarakan kritik sosial. Atau di dunia teater pun terkadang juga menampilkan hal serupa, kerap terdapat lakon dengan alur cerita dari naskah yang menggambarkan julid, kritikan, sindiran terhadap fenomena, keadaan, tokoh tertentu, situasi dan kondisi. Begitu pula di dunia seni rupa, para pelukis ads yang menyelipkan julid, kritikan, sindiran melalui bentuk objek yang dilukisnya.

( Wahyu Toveng )