( Foto Penulis dan Pengulas )
7Detik.com - SASTRA - Melepas Kenangan: Ekspresi Pribadi dalam Puisi
BELAJAR MELUPAKAN
di tanah masa silam
kenangan ditanam dalam-dalam
agar yang tumbuh hanya masa depan
meski kelak tertulis di batu nisan
hari ini sebagian mimpi dijalani
melewati pemberhentian
tanjakan kelokan tajam jurang curam
dari siang yang ditelan malam
Pernahkah
anda merasa begitu sulit untuk melupakan sesuatu yang telah menjadi
bagian dari masa lalu? Untuk move on, terkadang kita tidak hanya
memerlukan sebuah niat, tetapi juga butuh keberanian untuk
bersungguh-sungguh meninggalkan kenangan itu di tempat yang paling
dalam.
Nah, puisi
Belajar Melupakan karya Emi Suy ini seperti memberi kita gambaran
tentang proses emosional dan perjuangan yang harus dilalui untuk bisa
benar-benar melupakan sesuatu yang dulu pernah berarti.
Dengan
pendekatan teori ekspresif, kita dapat melihat puisi ini sebagai media
di mana Emi mengungkapkan perasaannya secara langsung— kegelisahan,
keraguan, dan harapan yang tersimpan dalam pilihan kata dan simbolisme
yang sederhana tapi tajam.
Dalam
Belajar Melupakan, Emi mengungkapkan emosi pribadinya tentang proses
yang tidak mudah buat melepas masa lalu. Dari pilihan diksi sampai
simbolisme yang digunakan, kita diajak merasakan bagaimana perjuangan
batin ini berjalan, tidak selalu mulus dan terkadang malah penuh
tikungan tajam.
Masa Silam yang Terkubur: Menanam Kenangan dengan Sakit Hati
Di bait pertama, Emi langsung masuk dengan gambaran yang langsung menyentuh rasa:
di tanah masa silam
kenangan ditanam dalam-dalam agar yang tumbuh hanya masa depan meski kelak tertulis di batu nisan.
Di
sini, Emi menggunakan kata “ditanam dalam-dalam” untuk menggambarkan
sebuah usaha diri mengubur masa lalu, dan ini tidak hanya sekadar
penguburan biasa. Kata “dalam-dalam” menunjukkam ada niat besar untuk
benar-benar melupakan atau bahkan menghapus kenangan itu seutuhnya.
Pilihan
diksi ini memberi kesan seakan ada rasa sakit atau beban yang berat,
sebuah perasaan yang mungkin telah lama dipendam dan akhirnya perlu
“dikubur” agar tidak muncul kembali ke permukaan.
Kalimat
“meski kelak tertulis di batu nisan” membei kesan lebih mendalam lagi,
seolah-olah kenangan ini adalah sesuatu yang perlu dimatikan dan
dilupakan sepenuhnya, bahkan kalau akhirnya harus diabadikan di “batu
nisan” masa lalu.
Dengan
nada yang agak serius dan tragis, Emi seperti mengungkapkan kegelisahan
dan perasaan yang sulit buat dilepaskan, seolah-olah dia harus
benar-benar “berpisah” dengan kenangan ini.
Di
sini kita bisa melihat bagaimana teori ekspresif bekerja—emosi pribadi
Emi yang penuh kesedihan dan keinginan untuk “mengubur” masa lalu terasa
sangat jelas lewat diksi yang dipilihnya.
Simbolisme Jalan dan Rintangan: Perjalanan Melupakan yang Penuh Tantangan
Lalu, di bait kedua, Emi mulai masuk ke simbolisme yang menggambarkan proses atau perjalanan:
hari ini sebagian mimpi dijalani melewati pemberhentian
tanjakan kelokan tajam jurang curam dari siang yang ditelan malam.
Di
bait ini, Emi mengungkapkan perjalanan untuk melupakan masa lalu lewat
simbolisme yang mengacu pada jalan yang penuh tantangan. “Tanjakan
kelokan tajam jurang curam” adalah simbol dari segala rintangan yang
harus dihadapi untuk benar-benar melupakan sesuatu.
Imaji
jalan yang sulit ini memberi kesan bahwa proses melupakan bukan sesuatu
yang dapat dicapai dengan cepat atau mudah, tetapi penuh rintangan dan
kadang harus melewati hal-hal yang berbahaya atau sulit.
Kata-kata
ini mungkin menggambarkan perjalanan batin Emi yang penuh tantangan,
sebuah jalan yang kadang menguras energi dan tidak selalu berjalan
sesuai harapan.
Pilihan
diksi ini secara ekspresif menyampaikan perasaan cemas dan khawatir
tentang perjalanan panjang yang perlu dijalani, seolah-olah melupakan
adalah proses yang membutuhkan kekuatan hati yang besar.
Emi
mungkin memberi kita pemahaman bahwa meskipun jalan untuk move on ini
sulit, ada rasa lega dan kedamaian yang bakal dicapai kalau kita
berhasil melewati semua rintangan ini.
Diksi dan Suasana: Melangkah dari Siang ke Malam
Di
bait ini juga, terdapat diksi yang kontras di antara “siang yang
ditelan malam,” yang seolah menggambarkan perubahan suasana dari terang
ke gelap, dari harapan ke ketidakpastian.
Emi
begitu pandai menggunakan kontras antara siang dan malam untuk memberi
kesan perasaan yang berubah-ubah, seperti perjalanan emosi yang
terkadang optimis, tetapi juga diselimuti rasa putus asa.
Siang
yang terang mungkin menggambarkan harapan untuk dapat melangkah maju,
tetapi malam yang gelap membuat perjalanan ini terasa berat dan penuh
kekhawatiran.
Kontras ini
menciptakan suasana yang reflektif, sebuah perasaan campur aduk yang
menggambarkan pergulatan batin Emi. Di sini, teori ekspresif menunjukkan
bagaimana Emi menggunakan simbolisme waktu dan peralihan suasana untuk
mengungkapkan perubahan emosinya yang naik-turun.
Bagi
pembaca, kontras ini memberikan perasaan yang mendalam, seperti emosi
yang naik turun seiring upaya untuk melupakan sesuatu yang berarti di
masa lalu.
Ekspresi Diri dan Pengaruh pada Interpretasi Pembaca
Dengan
gaya puitis yang sederhana tetapi penuh makna, Emi berhasil
menyampaikan perasaannya yang rumit secara ekspresif. Teori ekspresif
memberikan kita wawasan bahwa pilihan diksi dan simbolisme di puisi ini
adalah cerminan dari emosi yang Emi rasakan.
Bagi
pembaca, emosi ini bisa terasa relate banget—seperti kita sendiri yang
sedang mengalami perjalanan melupakan hal-hal yang membuat sakit atau
penuh kenangan.
Pemilihan
kata yang penuh kesan dan simbolisme tentang jalan, rintangan, serta
perubahan suasana dari siang ke malam memberikan pemahaman kepada
pembaca, gambaran tentang betapa sulitnya proses untuk benar-benar move
on.
Pembaca jadi dapat
merasakan bagaimana perjalanan ini tidak sekadar perjalanan fisik,
tetapi perjalanan batin yang penuh dengan perjuangan. Nada yang Emi bawa
dari bait pertama sampai bait terakhir membuat kita semakin memahami
bahwa melupakan adalah proses yang butuh keberanian dan ketulusan.
Dengan
diksi yang sederhana namun kuat, Emi membuat pembaca tidak hanya
membaca puisi, tetapi juga merasakan tiap emosi yang dituangkannya.
Perubahan Nada dan Dampaknya pada Makna Puisi
Bila
kita perhatikan, nada di puisi ini pelan-pelan berubah. Dari awal yang
terkesan melankolis dan penuh perasaan sedih, ke akhir yang lebih
reflektif dan penuh kesadaran.
Di
bait pertama, nada puisi lebih terfokus pada usaha buat “mengubur”
kenangan, sebuah niat yang mungkin penuh emosi dan kemarahan
tersembunyi. Namun di bait kedua, nada menjadi lebih pasrah dan
realistis, menggambarkan jalan yang mungkin penuh tantangan tetapi tetap
harus dilewati.
Perubahan
nada ini memberikan dinamika pada makna puisi, membuat pembaca dapat
melihat perjalanan emosional Emi yang pelan-pelan menerima kenyataan
bahwa melupakan itu butuh waktu.
Emi
seperti memberi pesan bahwa meskipun sulit, perjalanan untuk melupakan
adalah bagian dari proses penyembuhan diri. Bagi pembaca, perubahan nada
ini memberikan harapan bahwa ada cahaya di ujung perjalanan, bahkan
kalau saat ini perjalanan terasa berat dan penuh rintangan.
Melepas Masa Lalu untuk Menemukan Diri yang Baru
Belajar
Melupakan tidak hanya mengisahkan soal menyingkirkan kenangan, tetapi
juga tentang keberanian untuk memulai lagi. Emi Suy, lewat diksi dan
simbol yang tajam, mengajak kita untuk mengakui kalau setiap dari kita
mungkin punya kenangan yang ditanam dalam-dalam di hati, yang kadang
sulit sekali untuk dilepas.
Namun
mungkin di situ letak keindahannya—bahwa justru dari kesulitan itulah
kita dapat menemukan kekuatan untuk membuka diri pada masa depan.
Coba,
apakah ada kenangan yang sampai sekarang masih anda genggam erat?
Mungkin puisi ini dapat menjadi dorongan untuk mulai berani melangkah,
sedikit demi sedikit.
Emi
mengingatkan kita bahwa melepaskan bukan berarti melupakan apa yang
udah terjadi, tapi menghormati perjalanan diri kita sendiri.
Ayo,
biarkan kenangan itu tertanam, tapi jangan biarkan ia menahanmu.
Lepaskan dengan perlahan, dan izinkan masa depan yang baru untuk tumbuh,
karena di sanalah tempat kita menemukan bagian terbaik dari diri kita
yang belum terlihat.
IRZI – Oktober, 2024
Penulis:
Ikhsan
Risfandi aka IRZI Lahir di Jakarta 1985. Eks gitaris Jazz yang banting
gitar nulis puisi Jess & Beatawi juga sesekali cerpen. Buku puisi
pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat di Sindikat Sastra,
Biasalah…, sesekali nongkrong di Kolektif Atelir Cermai, Rawamangun
serta tengah menyiapkan dua buku puisi berikutnya Repertoar Nokturnal
& Suara Berisik dari Depan Langkan