( Musik dan puisi, yang di mainkan para penyair peempuan Indonesia, di Kota Tua Jakarta )
7DetikDotCom - SASTRA JAKARTA - Kota Tua Jakarta pada Sabtu, 23 November 2024 lalu,
benar-benar semarak. Ini memang destinasi favorit, terutama bagi warga
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Pada
Sabtu sore itu, suasana Kota Tua Jakarta terasa lebih semarak dari
biasanya, karena ada parade baca puisi dan musikalisasi puisi yang asyik
untuk dinikmati.
Indar dan Beryl dari UI, Salsa dan Aditya dari UNJ.
Pengunjung Kota Tua Jakarta sore itu, memilih posisi mendekat dan menghadap ke Museum Sejarah Jakarta.
Bangunan bersejarah yang didirikan pada tahun 1707 itu, dulu dikenal sebagai Museum Fatahillah.
Di bagian atas gedung itu, bisa kita baca tulisan besar: Gouverneurskantoor.
Gedung
itu menghadap ke utara, dengan halaman yang luas. Para pengunjung Kota
Tua Jakarta leluasa duduk lesehan di halamannya, karena lantainya
di-semen dan bersih.
Sabtu sore itu, teras Museum Sejarah Jakarta tersebut dijadikan panggung parade baca puisi dan musikalisasi puisi.
Nasya
Indar Pramesti memilih cara lain. Deklamator berbakat dari Universitas
Indonesia (UI) itu, mengangkat mic beserta tiangnya ke halaman, hingga
posisinya sejajar dengan para pengunjung. Rupanya, ia ingin lebih dekat
dengan para penonton, para penikmat sastra sore itu.
Di tubuh semesta tercinta
buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
Begitu Nasya Indar Pramesti memulai deklamasinya. Ia membacakan Sajak Buat Negaraku karya Kriapur, dengan penuh penghayatan.
Dengan suara bening, ia menggugah perasaan penonton tentang “bangsaku, bangsa dari segala bangsa.”
Karya
puisi tersebut membangkitkan kecintaan kita kepada tanah air Indonesia.
Kriapur menciptakannya di Solo, Jawa Tengah, tahun 1983.
Di
kesempatan yang sama, Salsabila membangkitkan kecintaan kita kepada
Indonesia, melalui cerita seorang nenek dan cucunya. Salsabila adalah
deklamator berbakat dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). “Kemerdekaan
itu memang susah diraihnya,” ujar Salsabila, yang piawai menirukan suara
seorang nenek.
Ia pada sore itu membacakan puisi Seorang Nenek di Hari Proklamasi Kemerdekaan karya F. Rahardi.
Dengan gaya bercerita, dengan akting panggung yang meyakinkan, Salsabila membuat para penonton terkesima:
Sambil menggendong cucu
dan mengunyah-ngunyah daun sirih
nenek itu melihat bendera merah putih
berkibar-kibar kena angin
di halaman kantor kelurahan
Salsabila dan Nasya Indar Pramesti benar-benar menggugah rasa kebangsaan kita. Membangkitkan kecintaan kita kepada Indonesia.
Demikian
pula halnya dengan Narima Beryl, deklamator dari Universitas Indonesia
(U yang membacakan sajak Berdarah karya Sutardji Calzoum Bachri.
Begitu juga dengan Aditya Nugroho dari Universitas Negeri Jakarta, yang membacakan Ziarah Udin karya Joko Pinurbo.
Orang Muda Menggugah Cinta Bangsa
Membangkitkan
cinta kepada tanah air bersama orang-orang muda, itulah substansi dari
parade baca puisi dan musikalisasi puisi di Kota Tua Jakarta tersebut.
“Dengan
dibacakan, masyarakat akan lebih leluasa mencerna karya sastra. Kami
pilihkan karya-karya yang mudah dipahami, kemudian kami gelar di ruang
publik,” tutur Octavianus Masheka, yang menjadi penyelenggara acara itu.
Octavianus Masheka adalah Ketua Umum Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI).
Bersama Komunitas TISI, ia sudah 8 kali menggelar parade puisi dan musikalisasi puisi di Kota Tua Jakarta.
Sebagai “prajurit sastra” ia memang getol melakukan regenerasi sastra, dengan menggelar berbagai acara sastra di ruang publik.
Pada
Sabtu, 23 November 2024 lalu itu, Octavianus Masheka melibatkan Khansa
dan Sopi sebagai Master of Ceremonies (MC). Khansa dan Sopi adalah dua
mahasiswa dari Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
“Dengan menjadi pembawa acara sastra, mudah-mudahan mereka kelak juga mencintai sastra,” ujar Octavianus Masheka.
Untuk menumbuhkan kepercayaan diri orang-orang muda tersebut, Octavianus Masheka melatih mereka.
Adakalanya
ia yang datang ke kampus para mahasiswa tersebut. Di lain kesempatan,
para mahasiswa itu yang datang untuk berlatih di Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Di
kesempatan datang ke TIM, Octavianus Masheka juga mengenalkan para
mahasiswa itu dengan sejumlah pegiat seni, yang kebetulan juga tengah
berkunjung ke TIM.
Dengan demikian, mereka tidak canggung lagi berada di lingkungan para pegiat seni.
Pada
Sabtu, 23 November 2024 lalu itu, Octavianus Masheka mengajak
orang-orang muda tersebut manggung bersama di Kota Tua Jakarta. Antara
lain, bersama Jose Rizal Manua, Imam Ma’arif, Exan Zen, Boyke Sulaiman,
Swary Utami, dan pemusikalisasi senior Rinidiyanti Ayahbi.
“Proses regenerasi dalam sastra, sesungguhnya adalah tanggung jawab kita bersama. Melalui sastra, kami mengajak orang-orang muda untuk bersama mengasah pikir dan rasa. Setidaknya, hal itu akan menjadi bagian yang positif bagi pembentukan kepribadian mereka,” lanjut Octavianus Masheka.
![]() |
( Di Kota penuh ekspresi menuang kata, dalam proses perjalanan para penyair. ) |
“Proses regenerasi dalam sastra, sesungguhnya adalah tanggung jawab kita bersama. Melalui sastra, kami mengajak orang-orang muda untuk bersama mengasah pikir dan rasa. Setidaknya, hal itu akan menjadi bagian yang positif bagi pembentukan kepribadian mereka,” lanjut Octavianus Masheka.
Dalam
konteks regenerasi sastra, Komunitas TISI di kesempatan tersebut, juga
menampilkan Mantra Gurindam, pembaca puisi cilik yang masih duduk di
Sekolah Dasar. Ia diberi kesempatan satu panggung dengan para
seniornya.
Rangkaian acara sastra itu benar-benar memikat pengunjung Kota Tua Jakarta.
Suasana
makin semarak, ketika Komunitas TISI menggelar game book war. Para
pengunjung berebut menjawab pertanyaan yang diajukan panitia.
Kepada sejumlah pengunjung yang beruntung, Komunitas TISI memberikan hadiah buku dan uang secukupnya untuk sekadar jajan bakso.
Demikian Isson Khairul dari
Persatuan Penulis Indonesia (PPI) yang disampaikan di Jakarta, Senin, 25 November 2024.