( Sastrawan Indonesia, Berkumpul Dalam 1 Panggung Sastra. )
7DetikDotCom - SASTRA JAKARTA - Panggung pergelaran sastra atau puisi adalah suatu wadah
kegiatan untuk merayakan teks teks karya sastra atau puisi menjadi
bunyi dan pertunjukan, sekaligus sebagai syiar dari sastra dan puisi itu
sendiri di masyarakat.
Menjadi
bunyi maksudnya adalah teks-teks karya sastra, apakah itu puisi,
cerpen, novel, dibicarakan dalam diskusi terbuka, dibacakan dan
dideklamasikan secara open mic, dimusikalisasi, disajikan secara
monolog, hingga laku gerak teaterikal dan dramatisasi.
Sastra
dan puisi dalam kegiatan itu menjadi begitu cair bersentuhan atau
berkolaborasi dengan bidang seni lain, seperti musik, teater, tari,
film, hingga seni rupa. Yang kesemuanya dapat dikemas dalam satu
rangkaian acara, tergantung bagaimana kemudian panitia ingin
menyajikannya sebagai sebuah pertunjukan terbuka bukan hanya bagi para
peseni saja tetapi juga khalayak luas.
Di
wadah ini pula dapat menjadi pertemuan antara sastra dan puisi secara
teori akademisi, dengan pegiat dan praktisi seni pertunjukan puisi,
bahkan dengan pihak birokrasi terkait, serta narasumber ahli dan
praktisi dari tema-tema di mana sastra dan puisi mampu menyelinap,
bersinergi, atau berdampingan dengan hal lain di luar sastra, puisi, dan
seni, seperti kebudayaan, sejarah, tradisi, psikologi, antropologi,
filsafat, kopi, pendidikan, teknologi terkini, dan lain-lain.
Secara
khusus, panggung pergelaran sastra dapat dikemas dengan hanya
mengetengahkan, bagaimana mengupas atau membedah suatu karya sastra,
dengan cukup menghadirkan narasumber yang mengerti tentang teori sastra,
sejarah sastra, kritik sastra, atau segala hal yang berkaitan dengan
proses kreatif karya sastra.
Tentu
saja acara tersebut menjadi sangat segmented, walau mungkin diumumkan
secara terbuka. Artinya dapat dipastikan yang kemudian hadir sebagai
penyimak hanya yang mengerti dan memunyai ketertarikan saja. Pada
keadaan demikian, penggagas acara memiliki pertimbangan sendiri, segmen
masyarakat seperti apa yang ingin diundang untuk menyimak, apakah
kalangan yang memang telah memahami sastra atau masyarakat umum yang
masih awam sastra.
Bila
pertimbangannya kemudian bahwa acara tersebut tidak eksklusif hanya
untuk kalangan penikmat dan penggiat sastra, maka mata acara dapat
dikombinasikan dengan menampilkan pula wujud sastra sebagai sebuah
pertunjukan seni, ekspresi dan kreasi. Yang tidak hanya berhenti kepada
persoalan mengenai teks-teks di dalamnya yang perlu diltelaah, dibedah,
dicari sisi kelemahan dan kelebihannya.
Tempat
pelaksanaan acara pun sangat beragam, dari berbagai komunitas penggagas
acara, pergelaran panggung sastra diadakan di banyak tempat, baik
secara ruang tertutup atau terbuka, mulai dari pusat kesenian,
perpustakaan, museum, kafe, galeri, gedung teater, gedung pemerintahan,
sekolah, kampus, mal, taman terbuka, pasar, stasiun kereta, beranda
rumah, hingga kolong jembatan.
Suatu
ketika, beberapa tahun lalu saya pernah datang ke acara yang bertajuk
"Malam Puisi Jakarta" di bilangan Mampang Jakarta Selatan. Acara itu
digelar di sebuah kafe, dan saya mendapatkan infonya dari akun resmi
Instagram mereka. Penggagas acara adalah anak-anak muda yang memunyai
ketertarikan terhadap puisi, di situ digelar open mic pembacaan puisi
baik itu karya mereka, atau karya penulis penyair yang sudah familiar
bagi mereka.
Mereka
begitu lepasnya mengakrabi puisi tanpa niatan untuk mendapatkan sebutan
penyair, sastrawan, deklamator, ataupun seniman, yang terpenting bagi
mereka adalah berekspresi dengan ketertarikan dan kecintaan terhadap
puisi. Sebuah ruang yang sangat berbeda dengan bidang seni lain semisal
musik, tari, teater, atau seni rupa
Mereka
pun rata-rata bukan anak muda yang tengah atau telah menempuh
pendidikan sastra secara akademis, mungkin pula mereka tidak mengerti
sastra atau puisi itu seperti apa secara keilmuan di perguruan tinggi.
Mungkin satu atau dua orang ada, entahlah saat itu saya tidak mungkin
menanyakan satu persatu latar belakang mereka.
Komunitas
ini sendiri menyebar ke seluruh Indonesia dan mengambil konsep yang
mirip dengan apa yang dilakukan penggagas awalnya di jakarta. Berbagai
komunitas dari kalangan muda lainnya pun secara organik tumbuh mandiri
dan menggelar panggung sastra atau puisi dengan versi masing-masing
Beberapa
tahun sesudahnya saya kemudian menjadi bagian dari penggerak beberapa
komunitas yang secara rutin menggelar acara panggung sastra, seperti
Sastra Semesta, Sastra Reboan, Ruang Puisi Kita, hingga Komunitas
Literasi Betawi. Tentu saja dengan konsep masing-masing yang berbeda,
baik itu tema, kemasan, tempat pelaksanaan, ataupun para pengisi acara
yang dihadirkan.
Dari
semua yang saya ketahui, apakah itu yang saya terlibat sebagai
penggeraknya, atau hanya sekadar hadir sebagai penyimak, dapat
disimpulkan, bahwa pergelaran panggung sastra diadakan hanya sebagai
wadah untuk menuangkan kecintaan terhadap sastra, literasi, puisi dan
ekspresi seni semata.
Dan
bukan merupakan sebuah jalan pintas untuk para pengggiatnya agar dapat
dilabeli gelar sebagai sastrawan. Mereka sangat menyadari untuk sampai
pada level sebutan sastrawan, haruslah menciptakan karya sastra yang
diketahui dan memberikan pengaruh bagi masyarakat luas, tidak sekadar
menaikkan citra diri sendiri di kalangan yang telah sama-sama memahami
sastra itu apa dan bagaimana.
( Wahyu Toveng )