Mau Tau? 5 Puisi Terbaik Event Puisi Grup Facebook KLB, Edisi September-Oktober 2024

                     ( Foto para penulis di Komunitas Literasi Betawi )
 

7Detik.com - Sastra Puisi - Tema: Petani Dan Pertanian Adalah Benteng Ketahanan Pangan Bangsa Indonesia


KIDUNG MURUNG PETANI 
karya: Warsono Abi Azzam

Langit menunduk 
Seakan tahu ada yang lelah di bawahnya
Sepasang tangan yang tak pernah selesai menyulam harapan
Dari tanah yang mulai lupa bagaimana caranya subur

Matahari mengulum senyum getir
Di balik peluh yang menetes seperti doa-doa
Tanah tak lagi mendengar seperti dulu
Batu-batu lebih banyak dari benih yang ditabur

Petani, adalah tubuh yang dibentuk angin
Tulangmu adalah jembatan antara lapar dan kenyang
Namun pada zaman yang menuhankan cuan
Cangkul dan bajakmu terasa tak lebih dari nostalgi
Meski tanganmu terus menari di antara batang-batang padi
Seringkali hujan pun tak jadi
Membawa janji yang tak pernah benar-benar ditepati

Di lahan itu engkau bercakap dengan tanah bisu
Angin hanya lewat tanpa menyiarkan kabar 
Seperti burung-burung pipit lupa sarang 
Saban hari engkau tanya langit
Akankah ia kembali membawa hujan yang tak sekadar pembasah daun-daun padi

Di zaman yang kian asing dengan bahasa sabar
Harga yang kauhitung dengan keringat dan darah
Tak pernah sepadan dengan yang mereka tuliskan di meja kaca
Tak pernah sebanding angka-angka di timbangan para tengkulak di sana

Petani, engkau adalah Kidung yang dilantunkan senja
Sunyi, tanpa sorak dan tepuk tangan
Di tanah yang pernah menjanjikan hidup dan kehidupan
Kini tersisa remahan mimpi
Seperti bulir-bulir padi yang tertinggal di sela jemari
Mencoba bertahan meski esok pun belum tentu ada hujan

Cilacap, 13102024

Bionarasi:

Warsono Abi Azzam adalah nama pena dari Warsono, M. Pd. Lahir di Banjarnegara, 6 Desember 1969. Menyukai sastra dan dunia literasi baca tulis, meski latar belakang pendidikan dan pekerjaan sehari-hari adalah guru Matematika. Menulis puisi, dan kadang-kadang cerpen baginya adalah katarsis setelah seharian berkutat dengan hitungan, rumus, dan angka-angka. Telah menerbitkan 5 buku antologi puisi solo, dan 2 buku kumpulan pentigraf (cerpen tiga paragraf). Karya-karyanya juga terabadikan dalam seratusan lebih buku antologi bersama penulis lain. Bergiat di beberapa komunitas sastra maya dan di Komunitas Guru Menulis (KGuM) Kabupaten Cilacap.
FB: Warsono Abi Azzam, IG: @warsonoclp


KEMBALIKAN KEUTUHAN NAMAKU
              :nyanyian petani
karya: Ence Sumirat

Bagaimana cita-cita bisa dilangitkan dan harapan dapat dibumikan 
Jika masih ada tangan biadab tega merampas penyebutan 
Baik kepada yang tak kenal lelah mengayunkan cangkul untuk mengubur kelaparan
Atau kebijakan yang terlanjur tumbuh semrawut di pesawahan 
Hingga tiap panen yang didapat hanya peluh dan kesia-siaan 

Kini tak ada pilihan
Kecuali bangkit bersama dari nyeri keterpurukan doa
Lalu merebut kembali yang hilang
Memburu tikus dan hama yang mengerubuti lumbung padi
Sampai mereka dipastikan mati
Dan kita pun bisa berseri

Cianjur, 5 Oktober 2024

Bionarasi:

Ence Sumirat lahir di pedalaman Cianjur Selatan tahun 1971.Belajar menulis puisi secara otodidak. Antologi puisinya, Ode Untuk Mak Erot (Adab, 2023). Puisi antologi bersamanya antara lain, LIKE(2024), Upacara Tanah Puisi(2022), Melihat Indonesia Masa Kini(2023), Pancasila Dalam Perspektif Penyair Dunia (2023), Sebelum Cahaya Padam Pada Pukul Tiga (2022). Juga puisinya dimuat media cetak Malaysia dan Bangladesh.  Facebook: Ence Sumirat


OH SAYANG, LUPAKAH?
Karya: Denok Aisandi

Kenangan itu menyawah di sepanjang lereng, hijaunya hampir memunah ditelan putih kepala bocah. Dulu ia penikmat lubang-lubang basah tempat memanen yuyu, di siang-siang tanpa erang lapar, dari berjuta tangis mimpi dalam rumah mewah, yang serupa dengan kediaman duka. Hari ini tangannya berevolusi menjadi blade bulldozer, sibuk menimbun regulasi pemusnah lahan dan meratakan kemanuisaan.

Jalanan mulus di ruas was-was para penanam padi, hitam bernas di atas jerami. berayun-ayun ditiup angin kegamangan, nasib besok pagi apakah masih pulen, manis dan hangat? Tanah itu telah basah oleh kearifan selama bertahun-tahun, lalu dikeringkan begitu saja dalam hitungan hari. sengkedan seksi meliuk di atas kanvas merah putih, dan pelukis tamak mendeformasi, menjadi pondasi villa tempat mereka mengasingkan tubuh dari bising yang mereka ciptakan sendiri.

Restoran-restoran beraroma amis kapitalis telah menghidangkan nasi mahal yang ditandur para lansia penikmat sego wadang, sepotong ikan peda, sambal bawang sisa panen dan segelas teh beraroma marjinal, dadanya telanjang menyerap terik aturan, lalu menceburkan diri di saluran irigasi hingga mumut, nyunyut kulit berubah menjadi bangsal kutu air. Pupuk yang dipanggul beratnya melebihi harga nurani, juga gabah yang dimonopoli tengkulak mengering bersama kesialan para soko guru yang hampir gugur menahan beton keserakahan.

Milenial tampan dan cantik, terus memuja revolusi industri dan desrupsi pejabat struktural, hingga mengemis, mati perlahan di lumbung pangan. Butterscotch sea salt latte di ruang ber-AC yang diseruput tiap sore, sambil memamerkan gincu dan kaos bermerk adalah asin dari keringat dan air mata petani kopi. Oh sayang, lupakah?

Bekasi, 19 September 2024

Bionarasi:

Denok Ayu Uni Aisandi. Lahir di Surabaya, 3 Juni 1992. Hobi travelling, bernyanyi dan menonton film. Alumnus Pertanian, Angkatan 47 – Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulai masuk ke dunia literasi pada bulan Mei 2024. Karyanya sudah dimuat di beberapa media serta masuk dalam antologi puisi bersama nasional. Bergabung di Asqa Imagination School dan Kelas Puisi Bekasi. 
IG: @denokaisandi


SEBUTIR PADI YANG DITANAM, ADALAH DETAK JANTUNG 
Karya: Riska Widiana

Pak, musim panen dan aroma ladang 
Terus mengetuk ingatan panjang 
Aku rindu merentangkan tangan
Di antara kuning dan rimbunnya padi 

Pak, musim panen telah datang 
Mimpi-mimpi orang lapang tumbuh lebat 
Rimbun daun di ladang 
Aroma pembakaran di hari petang 
Sebelum kita pulang meninggalkan ladang 

Pak, terima kasih 
Orang-orang sakit tak lagi bersedih
Orang-orang lapar tak lagi merintih 
Nada-nada sumbang yang sering kudengar 
Di jalan-jalan layang 
Di bawah jembatan-jembatan hingga malam 
Anak-anak meringis mencari butir-butir beras
Telah lama hilang dari dapur mereka

Pak, jasamu besar 
Satu ladang, menghangatkan ratusan rumah kumuh
Satu ladang, membuka jalan panjang 
Orang-orang yang kehilangan cahaya 
Pada ujung jalan, seperti menemukan setitik sinar

Pak, padi yang kau tanam 
Adalah detak jantung 
Ratusan anak yang mungkin 
Kehilangan penyangga hidup
Setidaknya, dengan butir-butir padi
Mengenyangkan keresahan  

Kadang, anak-anak tetap menerbitkan matahari
Di wajah-wajah jauh dari cahaya 
Pelangi melengkung, di retak bibir kering yang legam 
Sehitam jalanan dihambur rongsokan

Saat bunyi-bunyi di perut mungil itu
meredam jauh, anak-anak akan tetap berlarian
Sambil tertawa riang
Menjadikan tanah sebagai rumah mereka 
Meski kadang tidur di bawah bulan terang 

Riau, 8 oktober 2024

Bionarasi:

Nama Riska Widiana kelahiran 25 November 1997. Berdomisili di Riau, Kabupaten Indragiri hilir. Beberapa karyanya termuat ke dalam media seperti Klasika kompas, Merapi, Lombok post, Balai Bahasa Bangka Belitung, Pontianak Post, Malut Post, Serawak Malaysia, Cemerlang Waspada, Sinar Indonesia Baru, Nusa Bali, Majalah elipsis, Majalah Hadila, Majalah semesta seni, Majalah Pakubasa, Majalah Bahana (Brunei Darussalam) Majalah Apajake, Magrib.id, Cendana news, Metafor id, Uma Kalada News, Bali politika, Maca Web, Barisan co,  Dunia santri, Laman Riau, Riau Sastra, Tajdid, Kami anak pantai dan media lainnya. Sebagai juara satu cipta puisi Jakarta dan kolaborasi 2022, juara tiga di grup menulis Jendela anak negeri, 2022 sebagai puisi terbaik penerima anugerah hari kesaktian Pancasila, Negeri kertas 2022, puisi terbaik tingkat nasional oleh penerbit Alqalam batang dan Salam Pedia 2021. Bergabung dalam antologi FSIGB 2022, Dokterku cintaku, Denpasar 2022, (Madukoro baru 1, 2022) (100 tahun Chairil Anwar 2022)  (Puisi sepanjang zaman, Satria Publisher 2022) (Negeri poci 12,  Raja kelana 2022) (Dari balik jendela rumah sakit, Bali 2021) dan beberapa antologi lainnya. Alamat Facebook: Ri-Ana. Instagram: riskawidiana97



SAJAK PETANI PISANG DAN ANAKNYA
Karya: Erwan Juhara

“Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti, Padamu negeri kami mengabdi, Bagimu negeri jiwa raga kami”

Sayup-sayup sebuah lagu kebangsaan mengalun dari sebuah radio. Seorang anak termangu-mangu berusaha menghapal syairnya. “Bapak, aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu!”. katanya kepada seorang lelaki setengah baya yang memegang cangkul

Ia menghentikan pekerjaaannya mencangkul tanah, ditatapnya wajah tanpa dosa sang anak sejenak, diraihnya wajahnya, bening mengalirkan gercik air dan di aliran matanya menyimpan sejuta angan-angan menuju laut

“Bapak, aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Aku ingin menghapal setiap syairnya di bawah pohon pisang kita, sambil membantu Bapak mencangkul kebun kita di tanah-tanah merah ini!"

“Anakku, maukah kau menunggu setahun lagi bersama cangkul Bapakmu di setiap lekuk tanah yang menyimpan anak-anak pisang kita?”

“Bapak, aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Haruskah aku menunggu setahun lagi untuk menyanyikannya?” 

“Tidak anakku, kau boleh menyanyikannya sekarang bersama pisang-pisangku, tapi bapak ingin kau belajar kepada alam, kepada pisang-pisang kita, agar kau bisa merasakan pahit manisnya sebuah sekolah, lalu kau akan menangis sambil menyanyikan lagu itu.”

“Mengapa demikian, Bapak?”

“Sebab pisang-pisang kita selalu memberikan buah dan anak-anak barunya yang baik setiap kali ia akan pamitan di hari tuanya, sebab sekolah pun bermaksud memberikan yang demikian itu, buatmu Nak. Bapak ingin kau sekolah setelah pisang-pisang kita selesai mengajarimu tentang janji, tentang bakti, tentang abdi, bahkan tentang jiwa raga!”

“Bapak, aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Namun, aku mulai paham bahwa hidupmu adalah pisang, Aku juga ingin belajar tentang pisang. Maukah Bapak mengajari anakmu ini tentang bahasa pisang? Agar anakmu tahu tentang janji, tentang bakti, tentang abdi, dan tentang jiwa raga yang telah Bapak cucup dari pisang-pisang kita, hingga ruh dan nadi di sepanjang hidupmu yang tanpa keluh itu!”

Seorang Bapak membimbing tangan anaknya pada sebuah cangkul yang kasar, lalu lekuk-lekuk tanah tiba-tiba melantunkan syair nyanyian mereka, meruah gairah Marsose menyanyikan lagu mars di sepanjang kebun pisang yang turut bergoyang

“Padamu pisang kami berjanji, Padamu pisang kami berbakti,
Padamu pisang kami mengabdi, bagimu pisang jiwa raga kami,"

Bagi Negeriku, Indonesia dalam Perkabungan, 

952024

Bionarasi:

Erwan Juhara, kelahiran Bandung, Januari 1968, Ayah Sunda, Ibu Aceh. Pernah studi IKIP Bandung dan PPS Unpad Bandung.  Selain menjadi Penulis dan Pengarang ia menjadi Guru SMAN 10 Bandung dan Dosen MKU Bahasa Indonesia dan MKU Sejarah Kebudayaan Indonesia di Jurusan Mandarin Akademi Bahasa Asing(ABA) Internasional Bandung; pun sebagai Ketua Umum Yayasan Jendela Seni Bandung, Pengurus Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI) Jabar; Ketua Umum Asosiasi Guru/ Dosen/ Tenaga Kependidikan Penulis/ Pengarang (AGUPENA) Jabar. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen, puisi dll. dimuat di berbagai media massa lokal, nasional, asteng. Beberapa kali memenangkan lomba menulis karya ilmiah/populer, fiksi di tingkat lokal dan nasional.