( Foto para penulis di Komunitas Literasi Betawi )
7Detik.com - Sastra Puisi - Tema: Petani Dan Pertanian Adalah Benteng Ketahanan Pangan Bangsa Indonesia
KIDUNG MURUNG PETANI
karya: Warsono Abi Azzam
Langit menunduk
Seakan tahu ada yang lelah di bawahnya
Sepasang tangan yang tak pernah selesai menyulam harapan
Dari tanah yang mulai lupa bagaimana caranya subur
Matahari mengulum senyum getir
Di balik peluh yang menetes seperti doa-doa
Tanah tak lagi mendengar seperti dulu
Batu-batu lebih banyak dari benih yang ditabur
Petani, adalah tubuh yang dibentuk angin
Tulangmu adalah jembatan antara lapar dan kenyang
Namun pada zaman yang menuhankan cuan
Cangkul dan bajakmu terasa tak lebih dari nostalgi
Meski tanganmu terus menari di antara batang-batang padi
Seringkali hujan pun tak jadi
Membawa janji yang tak pernah benar-benar ditepati
Di lahan itu engkau bercakap dengan tanah bisu
Angin hanya lewat tanpa menyiarkan kabar
Seperti burung-burung pipit lupa sarang
Saban hari engkau tanya langit
Akankah ia kembali membawa hujan yang tak sekadar pembasah daun-daun padi
Di zaman yang kian asing dengan bahasa sabar
Harga yang kauhitung dengan keringat dan darah
Tak pernah sepadan dengan yang mereka tuliskan di meja kaca
Tak pernah sebanding angka-angka di timbangan para tengkulak di sana
Petani, engkau adalah Kidung yang dilantunkan senja
Sunyi, tanpa sorak dan tepuk tangan
Di tanah yang pernah menjanjikan hidup dan kehidupan
Kini tersisa remahan mimpi
Seperti bulir-bulir padi yang tertinggal di sela jemari
Mencoba bertahan meski esok pun belum tentu ada hujan
Cilacap, 13102024
Bionarasi:
Warsono
Abi Azzam adalah nama pena dari Warsono, M. Pd. Lahir di Banjarnegara, 6
Desember 1969. Menyukai sastra dan dunia literasi baca tulis, meski
latar belakang pendidikan dan pekerjaan sehari-hari adalah guru
Matematika. Menulis puisi, dan kadang-kadang cerpen baginya adalah
katarsis setelah seharian berkutat dengan hitungan, rumus, dan
angka-angka. Telah menerbitkan 5 buku antologi puisi solo, dan 2 buku
kumpulan pentigraf (cerpen tiga paragraf). Karya-karyanya juga
terabadikan dalam seratusan lebih buku antologi bersama penulis lain.
Bergiat di beberapa komunitas sastra maya dan di Komunitas Guru Menulis
(KGuM) Kabupaten Cilacap.
FB: Warsono Abi Azzam, IG: @warsonoclp
KEMBALIKAN KEUTUHAN NAMAKU
:nyanyian petani
karya: Ence Sumirat
Bagaimana cita-cita bisa dilangitkan dan harapan dapat dibumikan
Jika masih ada tangan biadab tega merampas penyebutan
Baik kepada yang tak kenal lelah mengayunkan cangkul untuk mengubur kelaparan
Atau kebijakan yang terlanjur tumbuh semrawut di pesawahan
Hingga tiap panen yang didapat hanya peluh dan kesia-siaan
Kini tak ada pilihan
Kecuali bangkit bersama dari nyeri keterpurukan doa
Lalu merebut kembali yang hilang
Memburu tikus dan hama yang mengerubuti lumbung padi
Sampai mereka dipastikan mati
Dan kita pun bisa berseri
Cianjur, 5 Oktober 2024
Bionarasi:
Ence
Sumirat lahir di pedalaman Cianjur Selatan tahun 1971.Belajar menulis
puisi secara otodidak. Antologi puisinya, Ode Untuk Mak Erot (Adab,
2023). Puisi antologi bersamanya antara lain, LIKE(2024), Upacara Tanah
Puisi(2022), Melihat Indonesia Masa Kini(2023), Pancasila Dalam
Perspektif Penyair Dunia (2023), Sebelum Cahaya Padam Pada Pukul Tiga
(2022). Juga puisinya dimuat media cetak Malaysia dan Bangladesh.
Facebook: Ence Sumirat
Email: encesumirat32@gmail.com
OH SAYANG, LUPAKAH?
Karya: Denok Aisandi
Kenangan
itu menyawah di sepanjang lereng, hijaunya hampir memunah ditelan putih
kepala bocah. Dulu ia penikmat lubang-lubang basah tempat memanen yuyu,
di siang-siang tanpa erang lapar, dari berjuta tangis mimpi dalam rumah
mewah, yang serupa dengan kediaman duka. Hari ini tangannya berevolusi
menjadi blade bulldozer, sibuk menimbun regulasi pemusnah lahan dan
meratakan kemanuisaan.
Jalanan
mulus di ruas was-was para penanam padi, hitam bernas di atas jerami.
berayun-ayun ditiup angin kegamangan, nasib besok pagi apakah masih
pulen, manis dan hangat? Tanah itu telah basah oleh kearifan selama
bertahun-tahun, lalu dikeringkan begitu saja dalam hitungan hari.
sengkedan seksi meliuk di atas kanvas merah putih, dan pelukis tamak
mendeformasi, menjadi pondasi villa tempat mereka mengasingkan tubuh
dari bising yang mereka ciptakan sendiri.
Restoran-restoran
beraroma amis kapitalis telah menghidangkan nasi mahal yang ditandur
para lansia penikmat sego wadang, sepotong ikan peda, sambal bawang sisa
panen dan segelas teh beraroma marjinal, dadanya telanjang menyerap
terik aturan, lalu menceburkan diri di saluran irigasi hingga mumut,
nyunyut kulit berubah menjadi bangsal kutu air. Pupuk yang dipanggul
beratnya melebihi harga nurani, juga gabah yang dimonopoli tengkulak
mengering bersama kesialan para soko guru yang hampir gugur menahan
beton keserakahan.
Milenial
tampan dan cantik, terus memuja revolusi industri dan desrupsi pejabat
struktural, hingga mengemis, mati perlahan di lumbung pangan.
Butterscotch sea salt latte di ruang ber-AC yang diseruput tiap sore,
sambil memamerkan gincu dan kaos bermerk adalah asin dari keringat dan
air mata petani kopi. Oh sayang, lupakah?
Bekasi, 19 September 2024
Bionarasi:
Denok
Ayu Uni Aisandi. Lahir di Surabaya, 3 Juni 1992. Hobi travelling,
bernyanyi dan menonton film. Alumnus Pertanian, Angkatan 47 – Institut
Pertanian Bogor (IPB). Mulai masuk ke dunia literasi pada bulan Mei
2024. Karyanya sudah dimuat di beberapa media serta masuk dalam antologi
puisi bersama nasional. Bergabung di Asqa Imagination School dan Kelas
Puisi Bekasi.
IG: @denokaisandi
SEBUTIR PADI YANG DITANAM, ADALAH DETAK JANTUNG
Karya: Riska Widiana
Pak, musim panen dan aroma ladang
Terus mengetuk ingatan panjang
Aku rindu merentangkan tangan
Di antara kuning dan rimbunnya padi
Pak, musim panen telah datang
Mimpi-mimpi orang lapang tumbuh lebat
Rimbun daun di ladang
Aroma pembakaran di hari petang
Sebelum kita pulang meninggalkan ladang
Pak, terima kasih
Orang-orang sakit tak lagi bersedih
Orang-orang lapar tak lagi merintih
Nada-nada sumbang yang sering kudengar
Di jalan-jalan layang
Di bawah jembatan-jembatan hingga malam
Anak-anak meringis mencari butir-butir beras
Telah lama hilang dari dapur mereka
Pak, jasamu besar
Satu ladang, menghangatkan ratusan rumah kumuh
Satu ladang, membuka jalan panjang
Orang-orang yang kehilangan cahaya
Pada ujung jalan, seperti menemukan setitik sinar
Pak, padi yang kau tanam
Adalah detak jantung
Ratusan anak yang mungkin
Kehilangan penyangga hidup
Setidaknya, dengan butir-butir padi
Mengenyangkan keresahan
Kadang, anak-anak tetap menerbitkan matahari
Di wajah-wajah jauh dari cahaya
Pelangi melengkung, di retak bibir kering yang legam
Sehitam jalanan dihambur rongsokan
Saat bunyi-bunyi di perut mungil itu
meredam jauh, anak-anak akan tetap berlarian
Sambil tertawa riang
Menjadikan tanah sebagai rumah mereka
Meski kadang tidur di bawah bulan terang
Riau, 8 oktober 2024
Bionarasi:
Nama
Riska Widiana kelahiran 25 November 1997. Berdomisili di Riau,
Kabupaten Indragiri hilir. Beberapa karyanya termuat ke dalam media
seperti Klasika kompas, Merapi, Lombok post, Balai Bahasa Bangka
Belitung, Pontianak Post, Malut Post, Serawak Malaysia, Cemerlang
Waspada, Sinar Indonesia Baru, Nusa Bali, Majalah elipsis, Majalah
Hadila, Majalah semesta seni, Majalah Pakubasa, Majalah Bahana (Brunei
Darussalam) Majalah Apajake, Magrib.id, Cendana news, Metafor id, Uma
Kalada News, Bali politika, Maca Web, Barisan co, Dunia santri, Laman
Riau, Riau Sastra, Tajdid, Kami anak pantai dan media lainnya. Sebagai
juara satu cipta puisi Jakarta dan kolaborasi 2022, juara tiga di grup
menulis Jendela anak negeri, 2022 sebagai puisi terbaik penerima
anugerah hari kesaktian Pancasila, Negeri kertas 2022, puisi terbaik
tingkat nasional oleh penerbit Alqalam batang dan Salam Pedia 2021.
Bergabung dalam antologi FSIGB 2022, Dokterku cintaku, Denpasar 2022,
(Madukoro baru 1, 2022) (100 tahun Chairil Anwar 2022) (Puisi sepanjang
zaman, Satria Publisher 2022) (Negeri poci 12, Raja kelana 2022) (Dari
balik jendela rumah sakit, Bali 2021) dan beberapa antologi lainnya.
Alamat Facebook: Ri-Ana. Instagram: riskawidiana97
SAJAK PETANI PISANG DAN ANAKNYA
Karya: Erwan Juhara
“Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti, Padamu negeri kami mengabdi, Bagimu negeri jiwa raga kami”
Sayup-sayup
sebuah lagu kebangsaan mengalun dari sebuah radio. Seorang anak
termangu-mangu berusaha menghapal syairnya. “Bapak, aku ingin sekolah
untuk menyanyikan lagu itu!”. katanya kepada seorang lelaki setengah
baya yang memegang cangkul
Ia
menghentikan pekerjaaannya mencangkul tanah, ditatapnya wajah tanpa
dosa sang anak sejenak, diraihnya wajahnya, bening mengalirkan gercik
air dan di aliran matanya menyimpan sejuta angan-angan menuju laut
“Bapak,
aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Aku ingin menghapal
setiap syairnya di bawah pohon pisang kita, sambil membantu Bapak
mencangkul kebun kita di tanah-tanah merah ini!"
“Anakku, maukah kau menunggu setahun lagi bersama cangkul Bapakmu di setiap lekuk tanah yang menyimpan anak-anak pisang kita?”
“Bapak, aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Haruskah aku menunggu setahun lagi untuk menyanyikannya?”
“Tidak
anakku, kau boleh menyanyikannya sekarang bersama pisang-pisangku, tapi
bapak ingin kau belajar kepada alam, kepada pisang-pisang kita, agar
kau bisa merasakan pahit manisnya sebuah sekolah, lalu kau akan menangis
sambil menyanyikan lagu itu.”
“Mengapa demikian, Bapak?”
“Sebab
pisang-pisang kita selalu memberikan buah dan anak-anak barunya yang
baik setiap kali ia akan pamitan di hari tuanya, sebab sekolah pun
bermaksud memberikan yang demikian itu, buatmu Nak. Bapak ingin kau
sekolah setelah pisang-pisang kita selesai mengajarimu tentang janji,
tentang bakti, tentang abdi, bahkan tentang jiwa raga!”
“Bapak,
aku ingin sekolah untuk menyanyikan lagu itu! Namun, aku mulai paham
bahwa hidupmu adalah pisang, Aku juga ingin belajar tentang pisang.
Maukah Bapak mengajari anakmu ini tentang bahasa pisang? Agar anakmu
tahu tentang janji, tentang bakti, tentang abdi, dan tentang jiwa raga
yang telah Bapak cucup dari pisang-pisang kita, hingga ruh dan nadi di
sepanjang hidupmu yang tanpa keluh itu!”
Seorang
Bapak membimbing tangan anaknya pada sebuah cangkul yang kasar, lalu
lekuk-lekuk tanah tiba-tiba melantunkan syair nyanyian mereka, meruah
gairah Marsose menyanyikan lagu mars di sepanjang kebun pisang yang
turut bergoyang
“Padamu pisang kami berjanji, Padamu pisang kami berbakti,
Padamu pisang kami mengabdi, bagimu pisang jiwa raga kami,"
Bagi Negeriku, Indonesia dalam Perkabungan,
952024
Bionarasi: