Puisi-Puisi Mulyadi J. Amalik: " Fir'aun Daring."

( Illustrasi, Wajah Fir'aun. }

7detik.com - Sastra Puisi -

1/
SUMPAH PRESIDEN 

Kukurangi waktu tidurku. Memikirkanmu.
Pluit wasitmu boleh menyetop permainan.
Kusisihkan hak privasiku. Menemanimu. 
Temponya sebanyak dua babak sepak bola.
Kuberikan tambahan jam. Memenangkanmu.
Kulepaskan dua kali 15 menit untukmu finalti.
Kurekam riuh penonton. Pertandinganmu.

Bila sejarah dipenuhi catatan gelap kekalahan.
Sumpahku memastikan terang cahaya lapangan.
Bila gegap-gempita larut hilang di luar stadion.
Sumpahku segera menepi di bangku cadangan.

Demi waktu pagi tak ingkari sepertiga malam.
Demi masa petang menangkar amalan siang.
Demi malam menelan separuh silau matahari.
Aku berjanji berdiri di tribun tempatmu memilih.
Kutebus sumpahku sekeras angin teriakanmu. 
Aku berjanji menjadi pelatih memenangi laga.
Turnamen usai bila zaman bertukar perubahan.

Peneleh, Surabaya: 19/10/2024.

2/
FIR’AUN DARING

Tiada aku yang mahakuasa selain aku sendirian.
Aku menciptakan bobot gunung jutaan ton;
serta apa saja pembeban berat timbangan.
Tentu aku tak bisa mengangkat benda itu;
tak kuat bahuku memikul ciptaanku sendirian.
Untungnya banyak pemujaku berdarah-darah;
luka melepuh membantuku sampai mati.
Siapa pun pembelaku begitulah takdirnya.
Akulah mahaniscaya mengatur segalanya.
Tiada aku yang mahabenar selain aku sendirian.
Kubuat siapa saja pengidolaku menyembah.
Pengikutku ganas mengamankanku berjibaku.
Penjilat dungu penjagaku ialah anjing amat taat.
Barisanku tangguh melibas keras penentangku.
Aku menciptakan imaji melampaui mimpi; 
menyetel bunga-bunga mewah pelelap tidurnya.
Tentu aku sukar menukar mimpi menjadi doa; 
kesulitan mengubah pikiran buatanku sendirian.  
Eloknya berhamburan penolongku berjuang seru; 
pengekor memagariku mandi sampah pujian.
Barang siapa mengelus tahtaku ada bayarannya.
Akulah mahakaya memberikan rezeki murahan.
Tiada aku yang mahabesar kecuali aku sendirian.
Bukankah pengikutku telah menikmati semuanya?
Aku tak bisa mati kecuali tertunda sesaat berhenti. 
Jalan hidupku aslinya permainan daring kekinian.
Aku kekal sebelum sinyal pulsa dan lampu mati.
Kelak aman bila rakyat menyusun perlawanan;
mengubur kemungkaranku di tong baterai bekas.

Peneleh, Surabaya: 01/10/2024.

3/
PEMIMPIN DI RUANG SAYUP

Pemimpin di ruang sayup.
Diseru ia terpaku.
Dibela ia tertawa.
Didiamkan ia marah.
Entah apa maunya.

Bila rakyat ikut sayup.
Gundah hatiku sangat teriris.
Tak ada tempat bercanda.
Bagai retak di lebak kemarau.

Aku merindu.
Hari-hari panjang tanpa kesayupan.
Berpeluk mesra bercakap ria.
Bersantap satu hidangan bersama.
Tak ada yang ceking kelaparan.
Tak ada utang kemiskinan.
Hidup enak berbagi hati.
Bersuka menyembelih korupsi.
Merindu bangsa yang tak ada duanya.
Membuang sayup di ruang terang-benderang. 
Menjadi merdeka sejak pikiran sampai tindakan.

Peneleh, Surabaya: 13/08/2024.

4/
PESTA RAKYAT

Calon-calon pemimpin berbondong; 
mengusung bakul kelontong dagangan.
Di pesta rakyat miliknya akan dijual.
Panggung sudah dibentangkan.
Makanan-makanan siap disajikan.
Lubang tinja dan saluran kemih dibangun.
Tempat-tempat kencan diutamakan.

Pesta rakyat.
Bebas untuk warga berumur.
Musik dan lawak dipentaskan.
Kelucuan-kelucuan dipertontonkan.
Boleh tertawa sampai muntah.
Pesta rakyat cuma sesaat.

Pesta rakyat.
Siapa saja boleh buang hajat.
Lezat sungguh nikmat.
Pilihlah pemimpin bebas kebelet. 
 
Peneleh, Surabaya: 28/07/2024.

5/
KENTUT GAJAH

Buzz…! Buzz…! Buzz…!
Kentut gajah kebun binatang.
Rakyat panik satu negeri.
Saling tuding bertukar hujatan.
Asap mengepul bau kemenyan.
Beradu mantera tengah malam.
Korban pelaku saling sengat.
Kota poranda dilanda fitnah.

Buzz…! Buzz…! Buzz…!
Kentut gajah masuk angin.
Dituduh bom radikal bebas.
Disangka teroris sumbu agama.
Mulut pesing disumbat prasangka.
Aduhai lucunya orang sebangsa.
Tertipu bunyi kentut gajah.
Busuknya ditabung dalam kepala.

Peneleh, Surabaya: 14/02/2024.                                                              BIONARASI RINGKAS:
Mulyadi J. Amalik, lahir di Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 10 Oktober 1969. Anggota komunitas Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal HIPREJS, Jawa Timur, dan SATUPENA Sumatera Selatan/Jawa Timur. Kontributor Forum Drawing Indonesia (FDI) Yogyakarta dan Teater Potlot Palembang. Menginisiasi antologi Syair-syair Pembelaan Pemuda-Petani Karawang (2008). Pameran puisi-drawing di galeri Rumah Seni Muara, Yogyakarta (2004). Pameran puisi Perjuangan Surat Ijo di Rumah Peneleh, Surabaya (2024). Menulis dan membacakan puisi-puisi hasil tafsir lukisan karya Arik S. Wartono dalam pameran tunggal “Lukisan Yang Berdzikir Arik S. Wartono”, Surabaya (24 Agustus 2024). 
Antologi puisi: Kuburan Bagi Penyair (2004/tunggal); Komposisi Masyarakat Pasar dan Surat Perintah 21 Mei (2000/berdua); dan antologi bersama: Like (2024), Jakarta, Kota Literasi Kita (2024), Progo 9 (2024), Democrazy (2024), Warna-warni Indonesiaku (2024), Aku Presiden (2024), Duka Tanah Pusaka (2024), Bela Rempang (2024), Rempang Tanah Luka (2024), Jelajah Sungai Menyapa Alam Barito (2024), Tanah Tenggara (2023), Perang Pecah Lagi di Gaza (2023), Kata-kata yang Menembus Gelap (2023), Puisi Cinta untuk Palestina (2023), Kulminasi (2023), Riau Istimewa (2023), Sekuntum Puisi untuk Petani (2023), dll.