Ulasan Puisi Elegi Ladang Kehidupan, Karya Agus Widiey: "Keberkahan yang Dilupakan dalam Perjuangan Petani."

( Foto Penulis dan gambar illustrasi )

7detik.com - Sastra -
Puisi Elegi Ladang Kehidupan karya Agus Widiey adalah refleksi kritis tentang peran petani dan bagaimana kontribusi mereka terhadap kehidupan sering kali diabaikan oleh tirani kekuasaan.

Agus menggambarkan peran petani sebagai penjaga kehidupan, namun di sisi lain, petani juga menjadi korban dari sistem yang menindas mereka. 

Melalui bait-bait penuh simbolisme, puisi ini menggambarkan ironi bahwa kehidupan banyak orang bergantung pada petani, tetapi mereka yang paling berjasa justru sering kali terlupakan.

Bait 1:
berkat petani,
hiduplah para tirani!
di ladang yang makin sempit
(seperti pembaca hari ini)

Bait pembuka ini langsung menyuguhkan ironi yang tajam. “Berkat petani, hiduplah para tirani” menunjukkan bahwa di balik kemakmuran para tirani—orang-orang berkuasa atau kaum kapitalis—ada kerja keras petani yang memungkinkan mereka untuk hidup. 

Kata “tirani” menandakan adanya kekuasaan yang menindas atau memanfaatkan, sementara petani, yang berkontribusi besar terhadap kehidupan, hanya menjadi roda penggerak dalam sistem ini.

Frasa “ladang yang makin sempit” menggambarkan bagaimana lahan pertanian semakin berkurang, yang secara langsung bisa kita lihat sebagai dampak dari urbanisasi dan pembangunan yang mengabaikan sektor agraria. 

Penyempitan ladang ini juga bisa dimaknai sebagai penyempitan ruang hidup petani, baik secara fisik maupun sosial. Menariknya, Agus menyisipkan “(seperti pembaca hari ini),” yang menunjukkan bahwa situasi ini tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada kita sebagai masyarakat yang turut menyaksikan dan mungkin mengalami konsekuensi dari pengabaian terhadap sektor pertanian.


Bait 2:
kita pernah berencana
untuk hidup dengan sederhana.
misalkan, menanam biji cinta
menabur pupuk ketabahan
agar tumbuh subur kehidupan.

Bait kedua ini memberikan kontras dari bait pertama yang penuh kritik. Di sini, ada kenangan atau impian tentang kesederhanaan, tentang bagaimana kita (baik petani maupun masyarakat) pernah punya rencana untuk hidup “dengan sederhana.” 

Frasa “menanam biji cinta” dan “menabur pupuk ketabahan” adalah metafora yang kuat tentang harapan akan kehidupan yang damai dan penuh ketabahan. Cinta di sini mungkin melambangkan kebersamaan, kerjasama, dan rasa kemanusiaan, sedangkan ketabahan adalah kualitas yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sulit.

Namun, bait ini tidak hanya berhenti pada idealisme. Ada ironi halus di balik gagasan “agar tumbuh subur kehidupan.” Meski ada harapan dan impian, kenyataannya kehidupan petani dan masyarakat di ladang semakin sulit, karena tantangan yang dihadapi tidak hanya terkait alam, tetapi juga kekuasaan dan politik.

Bait 3:
di ladang yang bapak wariskan,
(dan hari ini mulai ditinggalkan)
hujan dan cangkul bersahutan,
barangkali saling merindukan.

Di bait ini, ada sentuhan emosional tentang warisan dan perasaan kehilangan. “Ladang yang bapak wariskan” adalah simbol tradisi dan tanah leluhur, yang diturunkan dari generasi ke generasi. 

Namun, dengan frasa “dan hari ini mulai ditinggalkan,” Agus menunjukkan bahwa ladang, yang dulu menjadi pusat kehidupan, kini mulai diabaikan. Ini bisa merujuk pada fenomena migrasi dari desa ke kota, di mana generasi muda mulai meninggalkan pertanian karena dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi.

“Hujan dan cangkul bersahutan, barangkali saling merindukan” adalah personifikasi yang indah. Hujan, simbol alam yang memberi kehidupan, dan cangkul, simbol kerja keras manusia, seolah-olah saling merindukan. Ini menunjukkan bahwa ada keharmonisan yang hilang—antara manusia dan alam, antara petani dan ladangnya—karena perubahan zaman.

Bait 4:
dari pagi hingga senja kita bekerja,
melepas baju kemalasan
(dan meneduhkan segala keangkuhan)
di bawah pohon mimba.

Bait ini menggambarkan kerja keras petani yang tidak mengenal waktu—dari pagi hingga senja. Di sini, ada pesan tentang pentingnya ketekunan dan bagaimana pekerjaan di ladang bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang disiplin dan pengorbanan. 

“Melepas baju kemalasan” menandakan bahwa pekerjaan di ladang tidak bisa dilakukan dengan setengah hati; harus ada komitmen penuh.

“Meneduhkan segala keangkuhan di bawah pohon mimba” membawa kita pada refleksi spiritual. Pohon mimba adalah simbol tradisional yang sering digunakan dalam pengobatan alami, dan di sini mungkin melambangkan kesederhanaan hidup dan kebijaksanaan. 

Petani yang bekerja keras di bawah pohon ini bisa diartikan sebagai penyerahan diri pada alam, sekaligus upaya untuk menekan ego atau kesombongan. Ada rasa damai dan kebersahajaan dalam menjalani kehidupan yang sederhana namun penuh makna.

Bait 5:
oh ladang yang memberkati kehidupan,
oh keberkatan yang dilupakan;
inilah gerakan kita,
dalam menumbuhkan masa depan
(dan meruntuhkan tembok tiran)
yang kerap menyulap jadi isu agraria.

Bait terakhir ini menjadi puncak dari elegi ini, mengungkapkan rasa kehilangan sekaligus protes. “Oh ladang yang memberkati kehidupan, oh keberkatan yang dilupakan” adalah seruan tentang bagaimana ladang, yang menjadi sumber kehidupan, kini dilupakan. 

Ladang tidak hanya memberi makanan, tetapi juga keberkahan—baik secara materi maupun spiritual. Namun, keberkahan ini kini tidak lagi dihargai.

Agus mengajak kita untuk memahami bahwa “gerakan kita”—yang bisa dimaknai sebagai perjuangan petani dan mereka yang peduli terhadap agraria—adalah upaya untuk “menumbuhkan masa depan.

”Masa depan ini hanya bisa dicapai jika kita juga “meruntuhkan tembok tiran,” yaitu kekuasaan dan sistem yang menindas petani dan mengabaikan pentingnya tanah dan pertanian. 

Tembok tiran di sini merujuk pada kebijakan atau keputusan yang menguntungkan pihak tertentu, namun merugikan petani.
Kalimat “yang kerap menyulap jadi isu agraria” adalah kritik tentang bagaimana masalah-masalah pertanian seringkali hanya dipolitisasi atau dijadikan alat untuk keuntungan elit, tanpa benar-benar menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi petani.

Kehidupan Petani dan Keresahan atas Isu Agraria

Puisi Elegi Ladang Kehidupan adalah elegi yang kuat dan penuh emosi tentang kehidupan petani yang terpinggirkan. Agus Widiey tidak hanya menyampaikan perasaan kehilangan, tetapi juga kritik sosial yang tajam tentang bagaimana petani seringkali dilupakan, meskipun mereka adalah pondasi dari kehidupan kita. 

Melalui metafora yang cerdas dan simbolisme yang dalam, puisi ini mengajak kita merenungkan kembali peran petani dalam kehidupan modern, serta menantang kita untuk tidak mengabaikan isu agraria yang semakin mendesak.

Puisi ini adalah seruan bagi kita untuk menghargai ladang, tanah, dan para petani yang terus bekerja keras demi masa depan kita, sambil terus memperjuangkan keadilan dalam struktur sosial dan politik yang sering tidak berpihak pada mereka.

Oktober, 2024
IRZI

Penulis:

Ikhsan Risfandi aka IRZI Lahir di Jakarta 1985. Eks gitaris Jazz yang banting gitar nulis puisi Jess & Beatawi juga sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat di Sindikat Sastra, Biasalah…, sesekali nongkrong di Kolektif Atelir Cermai, Rawamangun serta tengah menyiapkan dua buku puisi berikutnya Repertoar Nokturnal & Suara Berisik dari Depan Langkan