Komunitas Artchipelago Bersama Wantannas RI, Gelar Diskusi Bahasa Dan Kebudayaan

( Komunitas Artchipelago Bersama Wantannas RI, Usai Kegiatan, Lakukan Foto Bersama )

7detik.com - Jakarta - Diskusi jelang peringatan Hari Sumpah Pemuda digelar di Nautic Coffee, Jl. Kramat Raya No. 27, Jakarta Pusat, kemarin Minggu sore (27/10/2024).

Forum diskusi ini digelar dengan menyongsong tema "Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa Untuk Kemajuan Negeri" yang sejalan dengan tema besar Bulan Bahasa Nasional 2024: Bahasa Indonesia Jembatan Menuju Peradaban Maju.

Sekretaris Jenderal (Sesjen) Dewan Ketahanan Nasional RI (Wantannas RI) Laksamana Madya TNI Dr. T.S.N.B Hutabarat M.M.S. (Cokky Hutabarat) hadir sebagai pembicara kunci dalam diskusi ini.

Dalam pidatonya, Cokky Hutabarat menyampaikan bahwa saat ini Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. 

Sementara itu, jika menoleh ke negara-negara di dunia, masyarakatnya sebagian besar menggunakan bahasa yang sama. Kanada misalnya, negara yang masyarakatnya hanya menggunakan dua bahasa yakni bahasa Prancis dan Inggris.

Berbeda dengan Indonesia yang dengan banyaknya penggunaan bahasa di kalangan masyarakatnya tetap dapat bersatu dalam keberagaman, di Kanada hal ini menjadi dikotomi di kalangan masyarakatnya; apakah anda Kanada yang berbahasa Perancis atau Kanada yang berbahasa Inggris.

Berangkat dari contoh kecil tersebut, Cokky menyampaikan betapa luar biasanya sasanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan yang dianut warga negara Indonesia dalam menjaga pertahanan kesatuan NKRI.

"Di sinilah kita lihat tadi Bhineka Tunggal Ika yang kita miliki ini benar-benar luar biasa. Jadi, luar biasa bahasa Indonesia ini sebagai jati diri bangsa Indonesia," ujarnya.

Cokky juga menyebut bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca terbukti menyukseskan diaspora dan penyebaran kebudayaan tanpa menghilangkan kearifan lokal di kalangan masyarakat daerah. 

Ia menyimpulkan, "bahasa Indonesia harus dipelihara, harus ditumbuhkembangkan pada masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia agar mengglobal, agar bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa menuju ke peradaban yang maju, yang membawa Indonesia sebagai bangsa yang mengemuka."

Diskusi dimoderatori oleh Kurator Puguh Warudju dengan tiga orang narasumber sebagai pemantik diskusi pada sore hari itu, yakni Dr. Bambang Sumadyo, M.Pd. (Wakil Dekan FBS Universitas Indraprasta PGRI Jakarta), Dr. Syahrial, S.S., M.Hum. (Dosen FIB UI), dan Imam Muhtarom, S.S., M.Hum. (Peneliti Sastra dan Ilmu Sosial Budaya).

Bambang Sumadyo menyebut ada empat simbol negara yaitu, bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa persatuan. Menurut Bambang, realita yang terjadi saat ini jika ada perusakan terhadap simbol negara berupa bendera, lambang negara, atau lagu kebangsaan akan memicu kemarahan publik. Namun, hal itu tidak terjadi dalam hal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Produktivitas bahasa yang tidak bisa dikendalikan terkadang memicu penutur bahasa merusak bahasanya sendiri.

Oleh karena itu Bambang mengimbau,"jika kita ingin mampu menjaga jati diri bangsa ini, kita harus imbang. Kalau bendera dan lambang negara kita pertahankan harga mati, lagu kebangsaan tidak boleh diganti, bahasa pun harus kita jaga."

Syahrial mempertajam perspektif fenomena bahasa yang saat ini terjadi dengan menyebut ada dua ragam bahasa yang dipergunakan secara luas, yakni bahasa deskriptif dan bahasa normatif. Bahasa deskriptif adalah bahasa yang biasa dipergunakan sehari-hari tanpa memperhatikan tata bahasa. Sedangkan bahasa normatif adalah bahasa formal yang dipergunakan dalam menuangkan gagasan pada ranah ilmiah seperti penulisan dan riset.

Syahrial menjelaskan, terdapat polemik yang disebabkan oleh dinamika kebahasaan saat ini.

"Barang kali akar masalahnya adalah kita tidak punya budaya literasi yang kuat sebagai manusia Indonesia. UNESCO menyatakan hanya 1 dari 5.000 orang di Indonesia yang suka membaca, selebihnya banyak bicara," paparnya.

Rendahnya kemampuan literasi dan minat baca akan menyebabkan kekuatan bahasa deskriptif yang terlalu dominan dan berdampak pada penguasaan bahasa normatif. Akhirnya, banyak kalangan yang kesulitan terutama dalam penulisan karena "dipaksa" memasuki lingkungan normatif padahal tumbuh di lingkungan deskriptif.

Ia merasa perlu ada regulasi yang jelas untuk menyelamatkan bahasa Indonesia agar penuturnya sendiri memiliki  kapabilitas dalam berbahasa Indonesia yang baik dalam ranah normatif maupun deskriptif. "Dalam hal kemajuan, bahasa Indonesia adalah media yang perlu didukung dengan regulasi dan infrastruktur negara yang semakin baik dan memadai. Sehingga, Bahasa Indonesia semakin naik dan berkelas di dunia. Para pemikir bahasa Indonesia sangat bergantung pada pihak lain yang memikirkan agar negara ini maju dan bahasa Indonesia menjadi bagian dari kemajuan itu," pungkasnya.

Senada dengan Syahrial, Imam Muhtarom mengemukakan bahwa bahasa merupakan hal yang paling mendasar karena prinsip pengetahuan, etika, dan moral itu tertanam di dalamnya. Generasi muda saat ini kerap menggunakan bahasa slang (gaul) dan lemah dalam bahasa normatif sehingga menyulitkan proses komunikasi. Padahal, mereka adalah pemegang peran penting bagi bangsa Indonesia di masa depan.

"Kalau seseorang mampu membaca dengan baik dengan tenggelam dalam teks, ia akan secara aktif membangun pemikiran-pemikirannya," ujar Imam.

Diskusi dihadiri oleh sejumlah akademisi, jurnalis, seniman, dan pegiat sastra dari berbagai komunitas. Acara ini merupakan kerja sama Wantannas RI dengan komunitas Artchipelago, Galeri Darmin Kopi, HIPTA, dan Nautic Coffee. Sedangkan narahubung panitia melalui Fitri Ekowati.
 
( Wahyu Toveng )