Dari Gubug Paman Tani Bersuara:" Suara Petani yang Terlupakan."

( Illustrasi Petani Menanam Padi Di Sawah. )

7detik.com - Sastra -
" Puisi Dari Gubug Paman Tani Bersuara karya Wanto Tirta." menghadirkan gambaran kehidupan petani yang penuh pengabdian, namun ironisnya, sering diabaikan oleh negara dan masyarakat luas. Melalui puisi ini, Wanto Tirta secara gamblang menyuarakan keresahan yang dialami oleh Paman Tani, figur simbolis yang merepresentasikan para petani yang bekerja keras setiap hari, namun tetap berada di pinggiran struktur sosial.

Bait 1:
Irigasi panjang berliku penuh keringat
Mengalir jauh ke petak-petak sawah
Paman Tani mengawal perjalanan air dengan setia
Tiap hari dari hulu ke hilir tanpa lelah

Bait pembuka ini langsung memperkenalkan kita pada Paman Tani dan rutinitasnya yang melelahkan. “Irigasi panjang berliku penuh keringat” adalah simbol dari kerja keras yang dijalani oleh para petani. Mereka mengatur air yang merupakan elemen penting dalam pertanian, memastikan sawah mereka tetap subur. Irigasi yang “berliku penuh keringat” menunjukkan bagaimana usaha yang mereka lakukan tidak mudah; ada banyak tantangan yang harus dihadapi.

Paman Tani digambarkan sebagai sosok yang “setia” dan “tanpa lelah” menjaga aliran air ini. Kesetiaan dan ketekunannya di sini adalah simbol dedikasi yang sering tidak terlihat atau diakui oleh orang-orang di luar dunia pertanian. Kalimat ini menyiratkan bahwa pekerjaan petani bukan hanya fisik, tetapi juga emosional—mereka melakukannya dengan sepenuh hati.

Bait 2:
Sebagai buruh penggarap
Telaten tekun menjaga amanah
Mengolah mengairi merawat memupuk tanaman
Sampai masanya panen tiba

Bait kedua memperdalam gambaran tentang ketekunan Paman Tani. Ia digambarkan sebagai “buruh penggarap,” yang menandakan status sosialnya yang rendah. Meskipun ia tidak memiliki tanah, ia dengan “telaten tekun menjaga amanah.” Amanah di sini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawabnya kepada pemilik tanah dan juga kepada bangsa, karena hasil dari pekerjaannya adalah pangan yang memberi makan banyak orang.

Proses panjang dari “mengolah, mengairi, merawat, memupuk” hingga panen menggambarkan betapa kompleksnya pekerjaan seorang petani. Tidak ada tahap yang mudah, dan semuanya membutuhkan perhatian penuh. Frasa ini juga menekankan bahwa petani tidak hanya terlibat dalam satu aspek saja, tetapi mengurus seluruh proses pertanian dari awal hingga akhir.

Bait 3:
Setelah itu sepuhnya diserahkan kepada si empunya
Paman Tani cukup menerima bagian
Sesuai akad kesepakatan awal

Bait ini menunjukkan kenyataan pahit yang sering dialami oleh buruh tani. Setelah panen selesai, hasilnya diserahkan kepada “si empunya,” yaitu pemilik tanah. Paman Tani hanya mendapat bagiannya sesuai kesepakatan. Ini mencerminkan ketidakadilan dalam struktur kepemilikan tanah, di mana buruh tani bekerja keras tetapi hanya mendapatkan sedikit hasil. Meski begitu, Paman Tani tetap tunduk pada “akad kesepakatan awal,” menunjukkan bahwa meskipun mungkin tidak adil, ia tetap menjalani tugasnya sesuai aturan yang ada.

Bait 4:
Tanah subur membentang luas
Modal dasar Paman Tani berkiprah
Sebagai sumbangsih nyata kepada bangsa negara
Meski dalam buku induk Istana Ia tak tertulis ada

Bait ini memperlihatkan ironi besar dalam kehidupan petani. Tanah yang subur adalah “modal dasar” bagi Paman Tani untuk berkontribusi kepada bangsa, namun kontribusi ini sering kali tidak diakui. Kalimat “meski dalam buku induk Istana Ia tak tertulis ada” menunjukkan bahwa meskipun petani memiliki peran vital dalam keberlangsungan hidup masyarakat, mereka tidak pernah mendapat pengakuan atau tempat dalam catatan resmi negara. Ini adalah kritik tajam terhadap pemerintah dan elit sosial yang mengabaikan kontribusi petani.

Bait 5:
Paman Tani tak kenal waktu pagi siang
Urusan dengan tanaman padi di sawah
Siap sedia dikerjakan demi rasa aman
Padi kumpul melimpah tak ada kelaparan

Bait ini menggambarkan dedikasi Paman Tani yang tidak kenal lelah. Ia bekerja tanpa mengenal waktu—pagi, siang, bahkan mungkin malam—demi memastikan tanaman padi tetap tumbuh dan hasilnya melimpah. Dengan bekerja keras, Paman Tani menjamin bahwa tidak ada kelaparan. Di sini, padi menjadi simbol keamanan pangan, dan petani menjadi penjaga kesejahteraan masyarakat. Meski begitu, ada perasaan bahwa kontribusi besar ini sering kali tidak disadari oleh masyarakat luas yang hanya menikmati hasilnya tanpa memahami proses panjang di baliknya.

Bait 6:
Paman Tani bertahun-tahun bersumpah
Atas nama tumpah darah kelahiran
Sawah adalah sendi kehidupan
Harus terus dikerjakan bukan diomongkan doang

Bait ini menunjukkan rasa kepemilikan dan cinta yang mendalam dari Paman Tani terhadap tanahnya. Ia “bersumpah” atas nama tanah kelahirannya bahwa sawah adalah “sendi kehidupan.” Di sini, Wanto Tirta menekankan pentingnya pertanian sebagai dasar dari kehidupan masyarakat. Paman Tani tidak hanya melihat sawah sebagai tempat mencari nafkah, tetapi sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dipertahankan. Kritik terselip dalam kalimat “harus terus dikerjakan bukan diomongkan doang.” Ini bisa dianggap sebagai sindiran terhadap pemerintah atau masyarakat yang sering berbicara soal pertanian, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk membantu petani.

Bait 7:
Dari gubug sawah Paman Tani bersuara
Ke mana sawah-sawah kami yang luas
Hari demi hari makin berkurang
Ditanami gedung tanpa bukti nyata pengembalian

Bait terakhir ini sangat kuat dan menjadi klimaks dari puisi ini. “Dari gubug sawah”—gubug di sini melambangkan kesederhanaan dan kerendahan hidup petani—Paman Tani mulai angkat suara, mempertanyakan ke mana perginya sawah-sawah yang dulu luas. Sawah-sawah tersebut kini “makin berkurang,” digantikan oleh gedung-gedung yang tidak memberikan manfaat nyata bagi petani. Kritik ini sangat jelas terhadap pembangunan yang tidak memperhatikan keberlangsungan lahan pertanian. Ini mencerminkan kegelisahan banyak petani yang merasa terpinggirkan oleh modernisasi dan urbanisasi.

Suara Kecil yang Menggema
Puisi Dari Gubug Paman Tani Bersuara ini adalah teriakan dari mereka yang sering diabaikan—para petani yang setiap hari bekerja keras tanpa kenal lelah demi ketahanan pangan. Melalui metafora, ironi, dan kritik sosial yang halus, Wanto Tirta menunjukkan bagaimana kehidupan petani sering kali terpinggirkan oleh modernisasi dan kapitalisme. Paman Tani tidak mencari pujian atau penghargaan, tapi suara dari gubugnya adalah peringatan bahwa pertanian—sendi kehidupan bangsa—sedang terancam.
Pesan dari puisi ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana lahan pertanian semakin menyusut dan para petani terus berjuang dalam diam, meski kontribusi mereka sangat besar.

Oktober, 2024
IRZI                                                                         Penulis:
Ikhsan Risfandi aka IRZI Lahir di Jakarta 1985. Eks gitaris Jazz yang banting gitar nulis puisi Jess & Beatawi juga sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat di Sindikat Sastra, Biasalah…, sesekali nongkrong di Kolektif Atelir Cermai, Rawamangun serta tengah menyiapkan dua buku puisi berikutnya Repertoar Nokturnal & Suara Berisik dari Depan Langkan.