Cerpen Karya, Ade Sumarna: " Pertemuan Singkat Mengusik Luka."

( Foto Penulis: Ade Sumarna. )

7detik.com - Sastra - Nuansa terasa syahdu, rimbun pepohonan berjajar di pinggir jalan memayungi taman kota, lampu-lampu taman temaram menyala sambut senja berhias jingga di langit menambah romantisme kota yang berjuluk paris van java itu.

Terdengar suara samar-samar seorang laki-laki berbincang dengan perempuan dari salah satu sudut taman kota. Sesekali terdengar nada keras seperti sedang bertengkar 

“Bukannya tak berani datang menghadap orang tuamu, bukan pula aku laki-laki pengecut yang tak bertanggungjawab pemberi harapan palsu!”

Kata-kata pembelaan keluar dari mulut seorang lelaki menyayat perasaan, kontras dengan keadaan taman kota yang ramai dipenuhi orang-orang melepas penat dari aktivitas sambil menikmati senja menyambut malam tiba, beralas rumput sintetis berwarna hijau.

“Sudahlah semua sudah berlalu, tak ada yang harus disesalkan, apalagi didebatkan mencari pembelaan hanya untuk mengatakan siapa yang benar!” 

Suara lirih seorang perempuan membalasnya sembari membalikan badan untuk menutupi air mata yang jatuh membasahi pipi. Terlihatlah paras cantik perempuan dengan gamis dan kerudung senada menambah keanggunan perempuan Mojang Bandung.

“Seandainya jika kau tak tergesa-gesa menerima pinangan dari laki-laki pilihan orang tuamu, mungkin kita tidak akan bertemu dengan keadaan seperti ini, memendam rindu yang menyiksa selama belasan tahun!” 

Ditarik lembut tangan perempuan itu, seolah tak sanggup jika harus ditinggal pergi untuk yang kedua kali di tengah rasa rindu membuncah.

Euis nama perempuan itu, dan Udin laki-laki itu biasa dipanggil. Hampir 15 tahun mereka tak bertemu, tak ada komunikasi, hilang kontak setelah pertemuan terakhir menjadi saksi, ketika janur kuning menghiasi indahnya pelaminan Euis dalam mengucapkan janji suci dengan lelaki yang tak dicintainya.

Tatapan mata Udin begitu tajam menatap penuh pengharapan, ciri khas laki-laki ketika merayu seorang perempuan, seolah tak ingin melepaskan mantan kekasihnya yang telah lama pergi meninggalkannya.

Melihat tatapan mata yang begitu tajam, dan pancaran rasa mewakili hati, Euis pun luluh seketika membalikkan badan membalas tatapan mata Udin sambil berucap membuka bibirnya yang gemetar,

“Akupun merasakan apa yang kau rasakan, rindu yang tak kunjung padam, jangan kau siksa lagi aku dengan lembut perhatianmu, dengan syair puitismu, aku lelah menanti janji yang tak kunjung ditepati.” 

Dengan derai air mata perempuan itu mengeluarkan keluh kesahnya selama bertahun-tahun memendam penderitaan direlung hati terdalam.

Perasaan hampa dalam menjalani bahtera rumah tangga begitu amat menyiksanya, dia harus tinggal bersama dengan suami yang tidak dicintai sebagai teman hidup.
Sedangkan hatinya tidak bisa melupakan Udin sebagai mantan kekasihnya.

“Jangan berkata seperti itu, akulah laki-laki paling menderita menerima surat undangan pernikahanmu, sejak saat itu taman hatiku kering gersang tak adalagi bunga yang tumbuh setelah engkau menikah.” Udin membalas ungkapan Euis dengan suara gemetar.

Mendengar ucapan seperti itu, Euis terperangah kaget seolah tak percaya terhadap apa yang didengarnya, namun dilihat dari fisiknya Udin menunjukkan bahwa hidupnya benar-benar menderita. Tampak tak ada gairah menjalani hidup; Tubuh kurus kering, rambut putih beruban, pakaian lusuh dan wajah kumal sangat jelas terlihat, jauh berbeda seperti awal pertama mereka bertemu di kampus biru.

Entah apa yang ada dalam pikiran Euis, tatapan matanya kosong, sesekali bibirnya tersenyum seolah sedang mengingat memori indah bersama laki-laki di hadapannya.
Keadaan seperti itu tidak berlangsung lama, ia dikagetkan dengan panggilan suara anak perempuan berambut panjang diikat pita merah menghiasi wajah cantiknya,

“Ibu aku mencarimu dari tadi? Sambil berlari memeluk erat tubuh ibunya yang sedang berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki, 

“Ibu di sini nak, menunggumu!”
“Ini fitri buah hati dengan suami!” Euis memperkenalkan anak semata wayangnya pada Udin sambil mengelus rambut panjang anaknya.

“Gadis yang cantik, persis seperti ibunya, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya!” Euis dibuat tersipu malu dengan pujian yang dilontarkan oleh mantan kekasihnya.

“Kasihan di usia yang masih belia dia harus merasakan hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, 8 tahun yang lalu ayahnya pergi merantau ke Aceh untuk bertugas di perkebunan kelapa sawit, namun baru setahun di sana kabar duka datang dari kantor tempat kerja, bahwa ayahnya telah meninggal tertembak peluru Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang nyasar!”

Tanpa disadari, Euis bercerita mengungkapkan apa yang telah menimpa pada suaminya delapan tahun silam.
Dengan rasa empati Udin memberikan tisu, diambil dari kantong celana jens hitam untuk menyeka air mata yang jatuh mengalir membasahi pipi Euis.

Suasana semakin haru ketika anak gadisnya menangis melihat ibunya bersedih,

“Ibu jangan menangis, aku takut jika ibu menangis, Aku ingin pulang bertemu ayah.”

Rengekan itu terus keluar dari mulut Fitri, sambil menarik tangan ibunya untuk mengajak pulang.

Karena selama ini dia tidak tahu bahwa ayahnya telah meninggal, Euis belum menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada Fitri dengan alasan belum cukup umur.

“Pulang kemana de? Sini sama om main!” Diulurkan tangan untuk memangku karena merasa iba. 

Sembari membayangkan seandainya dulu aku menikahi ibumu, aku adalah ayahmu. Bukan laki-laki yang kau takuti seperti sekarang. 

“Jangan takut, om orang baik enggak akan menggigit kamu!” Dengan senyum manisnya Udin membujuk Fitri agar berhenti menangis.

“Terima kasih kang, dia tidak akan berhenti menangis sebelum melihat foto ayahnya!” 

Dibukanya ritsleting tas selempang yang dibawanya, mengeluarkan selembar foto berukuran 5R yang hampir usang, 

“Ini ayah de!”

Seketika tangisannya behenti,menatap wajah yang ada di foto tersebut. Suasana menjadi hening terbawa haru melihat kerinduan seorang anak pada ayahnya.

 “Suamimu orang baik?” 

Terdengar pertanyaan meluncur menggetarkan hati Euis. Tanpa memberikan jawaban, Euis pun hanya menganggukan kepala.

“Syukurlah kau mendapatkan imam yang tepat, terlihat dari anakmu yang sangat mencintai ayahnya!” 

Udin memberikan ucapan rasa syukur pada Euis karena telah mendapatkan laki-laki yang pantas jadi imamnya.

“Jangan berbicara seperti itu, hanya engkau yang bisa memberi warna dalam hidupku.”  Euis memotong pembicaraan,

 “Bukan rasa cinta yang dirasakan, seperti yang aku rasakan saat bersamamu, namun lebih menerima suamiku sebagai takdir yang telah menentukan!”

Ucapan pasrah terlontar dari Euis, perempuan yang rela dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai.

“Aku adalah Perempuan korban ketidakpastian yang hanya bisa menunggu tanpa kepastian, tidak seperti dirimu yang bebas memberi janji, walaupun harus mengingkari!” sembari menghela napas perempuan itu melanjutkan ucapannya.

“Jangan kau ucapkan lagi perkataan itu, amat sakit mengingat memori kelam, terlalu perih hati dengan irisan katamu yang dulu luluh-lantak karena pesonamu, jantungku seolah berhenti berdetak dengan kata-katamu!” 

Udin tak berani harus mendengar kata yang diucapkan Euis, semua panca indra terasa gemetar mengingat kesalahannya yang dulu pernah ia ikrarkan, namun tak sempat ia tepati.

“De sudah petang, ayo kita pulang!” 

Dengan mengangguk sambil memegang foto di dadanya, Fitri menyetujui ajakan ibunya pulang.

Mereka berjalan meninggalkan taman menuju halte, untuk menunggu Bus yang datang. Tak berapa lama kemudian Bus DAMRI pun melintas di hadapannya, 

“ledeng pak?”

“iya ledeng, naik neng!” Jawab seorang laki-laki tua, sang sopir Bus jurusan Ledeng -Stasiun Hall, menyuruh Euis dan anaknya naik.

Pada taman yang tak jauh dari halte pemberhentian Bus tersebut, Udin hanya terdiam menyaksikan kepergian orang terkasih. Melambaikan tangan dari kaca jendela.

Tak ada sepatah kata yang terucap keluar dari mulutnya. Karena ia tak berhak melarangnya untuk pergi, dia hanya seorang pecundang yang menghindar dari kenyataan. Dengan janji tertanam tanpa bisa mewujudkan.

 Garut, 20 Oktober 2024

Biodata Penulis:

Ade Sumarna, lahir di Garut 12 Oktober 1983 Sekarang tinggal di Kp. Cihanja RT 03 RW 03 Desa Lingkungpasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut, kode pos 44193. Bekerja sebagai tenaga pendidik di SDN Lingkungpasir Kec. Cibiuk Kab. Garut. Puisinya sudah dimuat dalam buku Tunggal (ketika senja berbicara ) dan beberapa buku antologi di antaranya antologi puisi penyair Nusantara Jakarta dan Betawi 4, penyair lintas maya, ketika dalam keheningan dan parodi di atas batu. 
Akun Fb: Ade Sumarna,