Wayang Orang Bharata, Hadirkan Pementasan Lakon Hancurnya Alengka

( Adegan dalam pementasan lakon, Hancurnya Alengka )

( Yudi Bharata, Ketua Pelaksana pementasan lakon, Hancurnya Alengka )

( Pemeran Prabu Rama Wijaya, dan suasana di belakang panggung Wayang Orang Bharata )

7detik.com - Jakarta -
Kelompok Paguyuban Kesenian Tradisional Wayang Orang Bharata adalah satu contoh, bagaimana sebuah kesenian berbasis warisan budaya luhur bangsa Indonesia dapat dikelola secara profesional, mereka memunyai gedung pertunjukan refresentatif, menjual tiket pementasan, menghidupi setiap anggotanya, dan terus solid melakukan regenerasi serta memiliki penggemar yang setia untuk selalu hadir menyaksikan pementasan mereka. 

Sabtu malam, 21 September 2024, Paguyuban yang diketuai oleh Teguh Kenthus Ampiranto itu menggelar pementasan dengan judul lakon, "Hancurnya Alengka," di gedung pertunjukan Wayang Orang Bharata yang berada di Jalan Kalilio No. 15, Senen, Jakarta Pusat. Sebelum pementasan dimulai, pewarta 7detik.com pun berkesempatan menemui Ketua Pelaksana Acara malam itu, yakni Yudi Bharata, serta menyimak situasi persiapan para pemain di belakang panggung.

"Sejak berdiri pada 1972, sampai medio 1999, kami hampir tiap hari menggelar pementasan. tetapi kami sempat berhenti menggelar pementasan pada tahun 2000, karena pihak Pemprov DKI Jakarta ketika itu, merenovasi gedung pementasan ini selama empat tahun. Untuk sekarang, kami hanya menggelar sebanyak dua kali pementasan dalam sebulan." Ungkap Yudi.

Begitu banyaknya alur kisah pewayangan terutama dari dua epos utama yaitu Mahabharata dan Ramayana, maka untuk pemilihan lakon yang akan dipentaskan, terkadang disesuaikan dengan momen peringatan hari besar nasional pada setiap bulannya, walaupun tidak selalu seperti itu, atau pula dengan melihat animo penonton yang berkeinginan menyaksikan Wayang Orang Bharata untuk menampilkan kisah tertentu. 

"Semisal saat momen Hari Kartini 21 April, kami mementaskan kisah "Kepahlawanan Srikandi," Hari Ibu 22 Desember kami tampilkan kisah "Dewi Kunti Sang Ibu Sejati," dan Hari Pahlawan 10 November, disajikan kisah tentang "Gatotkaca Luweng" atau "Kepahlawanan Seorang Gatotkaca." Sedangkan saat tak ada momen peringatan apapun, kami hadirkan kisah yang menitikberatkan hancurnya angkara murka, seperti lakon malam ini yang berjudul "Hancurnya Alengka," dan diambil dari alur epos Ramayana." Ujar Yudi menjelaskan.

Ketika mempersiapkan pementasannya secara reguler tersebut, Kelompok Wayang Orang Bharata, hanya melakukan latihan sehari saja menjelang hari dan tanggal pementasan, karena para anggotanya telah memiliki fondasi akting yang kuat untuk memerankan setiap karakter tokoh. Hanya kemudian yang perlu lebih intens dilakukan adalah pengembangan dan pendalaman dialog dalam lakon. Terkecuali pementasan untuk event khusus, proses persiapan yang dilakukan sebelumnya, bisa sekitar tiga bulanan dengan jadwal kontinyu hanya satu kali latihan dalam satu minggu, dan menjelang hari H pementasan jadwal tersebut ditambah menjadi dua kali latihan dalam seminggu.

Lebih detail lagi Yudi pun menambahkan, untuk lakon yang dipentaskan malam itu, secara garis besar menceritakan situasi saat mendekati masa akhir peperangan antara Prabu Ramawijaya dari Kerajaan Ayodya dan Prabu Rahwana dari Kerajaan Alengka. 

"Sebelumnya memang dalam kisah tersebut sudah terjadi peperangan antara pasukan kedua belah pihak, dengan pangkal masalah diculiknya Dewi Shinta, istri Ramawijaya oleh Rahwana. Kisah Ramayana sendiri masih ada alur lanjutan yaitu, kisah Shinta Boyong dan kisah penolakan Ramawijaya terhadap Shinta, dikarenakan begitu lama istrinya itu berada di kerajaan Alengka dan dalam penguasaan Rahwana, sehingga Rama menyangsikan kesuciannya. Untuk membuktikan bahwa dirinya masih menjaga kesuciannya, Shinta pun melakukan pembakaran diri." Tambah Yudi.

Karakter lain yang memunyai peran penting di kisah ini adalah Hanoman, sosok ksatria berwujud kera putih bermahkota emas dan berekor panjang menjuntai hingga ke kepalanya, Hanoman membantu Rama untuk menyelamatkan Dewi Shinta dari tangan Rahwana, sekaligus memenjarakan Raja berwujud Raksasa itu. Sedangkan karakter Rahwana adalah perlambang dari keangkaramurkaan yang tak pernah bisa mati sampai akhir zaman. Angkara murka selalu ada hingga saat ini, sehingga secara filosofis bila manusia di masa sekarang melakukan perbuatan biadab, sadis, dan jahat terhadap sesama, maka ia dapat disebut perlambang dari sosok Rahwana. Dalam kisah tersebut pun dijelaskan, meski Hanoman telah memenjarakannya dengan dikubur oleh sebuah gunung, Roh jahat Rahwana masih dapat merasuki ke setiap orang. 

Yudi kemudian menyampaikan penjelasan bahwa kisah pewayangan versi Indonesia lebih kaya dari segi alur cerita ketimbang versi India. Bahkan bila dirunut secara detail kisahnya menyambung kepada keberadaan kerajaan besar di Nusantara dahulu, seperti misal Kerajaan Majapahit, atau tokoh-tokoh legenda di Indonesia seperti Prabu Jayabaya dan Angling Darma. Pun pada versi India tidak terdapat karakter seperti Punakawan atau Cakil. 

Dan pementasan Wayang Orang Bharata malam itu sungguh memberikan kepuasan tersendiri bagi pecinta kisah pewayangan, khususnya yang disajikan dengan kemasan sandiwara panggung wayang orang, para pemain memang sangat menjiwai setiap karakter yang mereka perankan, mungkin karena kerap secara reguler mereka tampil dan sangat memahami kisah pewayangan beserta pakem pementasan wayang orang  sehingga chemistry yang terbangun di antara mereka mengalir secara apik dalam membangun alur cerita. Wayang Orang memang berbeda dengan pementasan teater biasa, baik dari segi penceritaan, cara para aktornya berdiri, duduk, berjalan, berbicara, menata blocking, menari, melantunkan tembang, bahkan berkelahi. 

Hal lain yang menjadi ruh dari pementasan tersebut adalah iringan musik gamelan lengkap dengan beberapa sindhen yang berada tepat antara bibir panggung dan para penonton. Tampak setiap laku gerak para aktor dipertegas oleh iringan musik gamelan yang menyesuaikan dengan apa yang berlangsung di atas panggung, apakah itu situasi intro saat para aktor muncul memasuki adegan, berdialog, berkelahi, dan sebagainya. Seakan iringan musik gamelan tersebut ingin menguatkan penyampaian nilai-nilai filosofis dari alur kisah yang dipentaskan. 

Yang tak kalah menghibur adalah saat bagian punakawan tampil di pertengahan cerita, mereka mampu menghadirkan gelak tawa para hadirin dengan tingkah jenaka mereka yang sesekali menyelipkan secara halus sentilan dan sindiran terhadap situasi negeri saat ini, kata-kata yang sedang viral seperti, Jet Pribadi, Mulyono, Fufufafa, mereka masukkan di tengah dialog, namun dengan kekocakan dan humor yang satir. 

Pada bagian yang menampilkan pasukan bangsa kera pimpinan Hanoman, dihadirkan puluhan anak-anak balita yang tampil lepas, bahkan bocah yang baru belajar berjalan pun sengaja ikut ditampilkan meski ia menangis. Hal itu ternyata memang sebuah cara dari Wayang Orang Bharata untuk mengenalkan anak-anak tersebut kepada dunia panggung dan terutama kesenian Wayang Orang, Yudi Bharata di awal perbincangan dengan 7detik.com menyebutkan bahwa Paguyuban yang dahulu bernama Pantja Murti tersebut kini telah memasuki generasi ke-9 menuju generasi ke-10. Upaya regenerasi selalu mereka lakukan sejak usia dini, sehingga di setiap periode selalu ada penerus dari Wayang Orang Bharata yang melestarikan dan mempertahankan tradisi kesenian tradisional Wayang Orang. 
 
( Wahyu Toveng )