7detik.com - Bersatunya kembali kerajaan Galuh dan Sunda dengan membentuk Pajajaran memang memperkuat kerajaan itu, akan tetapi persatuan tersebut juga rupanya memantik konflik baru, sebab 3 Pangeran yang sejatinya layak menjadi Raja tampil dengan ambisinya masing-masing. Para Pangeran yang dimaksud adalah Amuk Marugul, Walangsungsang dan Surawisesa.
Bila mundur
ke belakang, Pajajaran dibentuk pada 1482 dengan melengserkan dua Raja
dari Kerajaan Galuh dan Sunda kemudian menobatkan Sri Baduga Maharaja
menjadi Raja dari dua Raja yang disatukan.
Sri
Baduga Maharaja adalah Putra Mahkota Kerajaan Galuh, dirajakannya Sri
Baduga Maharaja sebagai Raja di Negara yang disatukan disetujui oleh
Raja Sunda dengan syarat Kentring Manik Mayang Sunda, putri dari Raja
Sunda harus dikawinkan dengan Sri Baduga Maharaja yang disertai
ketetapan bahwa nantinya keturunan yang lahir dari Kentring Manik Mayang
Sunda itulah yang akan menjadi pewaris tahta Kerajaan Pajajaran.
Ketetapan
Rancangan dan Penyatuan Kerajaan Galuh-Sunda yang diprakarsai para
Pandita dan Resi di kedua Kerajaan tersebut memang kelihatannya adil dan
memuaskan kedua belah pihak. Akan tetapi, ketetapan tersebut sebetulnya
melukai hati dua Pangeran yang sebelumya telah ditetapkan menjadi Putra
Mahkota atau Raja Muda di Kerajaan Sunda dan Galuh, yaitu melukai hati
Amuk Marugul dan Walangsungsang.
Amuk
Marugul adalah Putra Mahkota dari Kerajaan Sunda (Kakak Kentring Manik
Mayang Sunda) sebelum kerajaan itu disatukan dengan Galuh. Dirajakannya
Sribaduga Maharaja membuat Amuk Marugul yang dikenal sebagai Raja Muda
yang cerdas dan cakap dalam berperang ini, membuat ia muak bahkan
cenderung menjadi pengkritik setiap kebijakan Sri Baduga. Apalagi sejak
muda Amuk Marugul berkali-kali terlibat persaingan dengan Sri Baduga
Maharaja ketika keduanya sama-sama menjadi Raja Muda di Kerajaan Sunda
dan Galuh.
Pada
akhirnya, Amuk Marugul memilih menyingkir dari Istana dengan meminta
wilayah paling timur kekuasaan Pajajaran, yaitu meminta memperoleh hak
menjadi Raja di Japura, sebuah Nagari yang menjadi benteng/perbatasan
antara Sunda dan Jawa. Mungkin, bagi Amuk Marugul, bahwa dengan menjadi
Penguasa terluar (Terasing) di wilayah timur Pajajaran, ia tidak lagi
merasa menjadi bawahan Sri Baduga, saingan masa mudanya yang berjuluk
Siliwangi itu. Ia merasa nyaman karena jauh dari pantauannya.
Dapat
ditebak, selepas menjadi Raja Japura, perbatasan Sunda -Jawa, yang
sejak zaman Gajah Mada dikenal angker dan tidak mudah dimasuki oleh
orang-orang Jawa yang mengemban misi sebagai teliksandi dan tentara itu,
kini menjelma menjadi wilayah perbatasan yang ramah pada orang-orang
Jawa, kelak, Negeri Japura adalah negeri yang mula-mula menjadi
sekutunya orang Jawa (Demak), hal ini dikabarkan sendiri oleh Tome
Pires, Apoteker Portugis yang mengunjungi Jawa pada 1513.
Sedikit
berbeda dengan gerakan Politik yang dimainkan oleh Amuk Marugul,
Walangsungsang yang merupakan anak dari Sri Baduga Maharaja mulanya
tidak berani melawan kehendak ayahya. Meski ia juga nantinya keluar
Istana, ia cenderung menunjukan bakti pada ayahnya.
Selepas
meninggalkan Istana, Walangsung yang dikemudian hari berjuluk
Cakrabuana ini lebih memilih tinggal dikampung halaman Ibunya (Subang
Larang), yaitu di Negeri Singapura (Mertasinga), sebuah kerajaan bawahan
Pajajaran yang sebetulnya berbatasan dengan wilayah Kerajaan Japura.
Selepas
kakakenya (Penguasa Singapura) wafat, Walangsungsang rupanya
mendapatkan hak waris, yaitu menjadi Penguasa baru di Negeri itu, namun
sang Pangeran rupanya memutuskan Singapura dibubarkan, ia menggunakan
harta dan hak warisnya itu membentuk negeri baru lengkap dengan kekuatan
bersenjata yang otonom, kelak Negeri baru yang dibangun oleh
Walangsungsang itu dinamai "Cirebon".
Berlalunya
waktu, sama Seperti Japura, Cirebon menyatakan merdeka dari Pajajaran.
Kini, Japura dan Cirebon menjadi dua wilayah yang saling bekerja sama
dengan status sama tinggi menjadi negara berdaulat.
Selepas
mangkatnya Sri Baduga Maharaja pada 1521, dan dinobatkanya Sang
Surawisesa menjadi Raja Pajajaran selanjutnya, konflik antar
Japura-Cirebon VS Pajajaran tidak dapat dielakan, perang besar yang
melibatkan ketiga Pangeran keturunan Raja-Raja Sunda itu meletus dengan
dahsyat. Kedua-dua belah pihak juga sama-sama meminta bantuan negara
asing. Japura dan Cirebon menarik Demak dalam pusaran konflik, sementara
Pajajaran memilih berskutu dengan Portugis.
Perang
besar tersebut benar-benar sebagai pembuktian, siapa sebetulnya yang
layak menjadi Penguasa di Pasundan, Amuk Mrugul, Walangsungsang ataukah
Surawisesa..?, namun, dalam kecamuk perang Saudara yang ditunggangi
kepentingan politik global itu, perang tidak juga usai meski Amuk
Marugul dan Walangsungsang wafat karena usia yang tua.
Akhirnya,
Surawisesa yang telah paham begitu nelangsanya rakyat akibat perang
saudara, memilih menyudahi konflik, menawarkan aksi penghentian perang,
sehingga pada Tanggal 14 Paro Terang Bulan Asadha Tahun 1453 Saka (12
Juni 1531), Raja Pajajaran kedua itu mengirimkan sepucuk surat ajakan
Damai pada Sunan Gunung Jati yang tak lain sebagai pengganti Penguasa
Japura dan Cirebon yang telah wafat, sehingga dari ajakan damai itu
nantinya disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak. Dalam
surat ajakan damai itu, Surawisesa membubuhkan kata-kata "Kedua-belah
pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang,
silih asih. Kedua-belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai
sesama ahli waris (seuweu-siwi) Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi),
sedarah janganlah putus". Minggu (01/09/24)
( Penulis Raya, dilansir dari berbagai sumber ceita sejarah, Kerajaan di tanah Pasundan. Jawa-Barat.)