( Para peserta dalam kegiatan wisata literasi, berpose bersama usai kegiatan )
7detik.com - Tangerang Selatan - Komunitas Sastra Semesta kembali melangsungkan acara pergelaran sastra yang rutin mereka adakan secara periodik dengan berpindah-pindah tempat. Terakhir, mereka menggelar acara pergelaran pada 28 Oktober 2023 di auditorium Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Timur. Sedangkan untuk kali ini adalah pergelaran mereka ke-14 dan dilangsungkan di ruang terbuka Politeknik Sahid Pariwisata yang berada di bilangan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, kemarin Minggu 15 September 2024.
Ireng
Halimun selaku koordinator komunitas itu menyampaikan bahwa pergelaran
Sastra Semesta selalu dihadirkan dengan bermodalkan nyali dan
silaturahmi, Nyali dimaksudkan sebagai keberanian menggelar kegiatan
seni budaya, sedangkan silaturahmi dimaksudkan sebagai membina hubungan
baik dengan pihak-pihak yang memungkinkan terlaksananya acara, apakah
itu pihak penyedia tempat, donatur, birokrasi, hingga pengisi acara.
Untuk
tema acara pada Sastra Semesta gelaran ke-14 ini bertajuk, "Galakkan
Wisata Literasi." Terlihat sejumlah pegiat sastra dan peseni menyajikan
beberapa penampilan antara lain, pembacaan puisi oleh Dyah Kencono
Puspito Dewi, Emi Suy, Hadi Sastra, Rd Nanoe Anka, Yusuf Susilo
Hartono, Kelompok Sastra Muda Indonesia, dan Wahyu Toveng, Musikalisasi
Puisi oleh H. Shobir Poer, Monolog oleh Yogi Karmas, Pembacaan Cerpen
oleh Arie F Batubara, Teatrikal Puisi oleh Trio Lay Sastra, Titi
Chemonk, dan Thimank Moniek, serta penampilan musik instrumentalia oleh
Kibordis Fadhil Indra.
Pada
sesi diskusi dihadirkan para pembicara antara lain, Heru Sudarmanto
(Kadis Pariwisata Kota Tangsel), Jamaluddin (Dosen Politeknik Sahid dan
Kepala Badan Promosi Wisata Kota Bogor), dan Hilmi Fabeta (Direktur
Indonesia Creative City Network), serta dimoderasi oleh Ireng Halimun
(Koordinator Sastra Semesta)
Jamaluddin
dalam pandangannya pada diskusi tersebut menyampaikan bahwa, Wisata
Literasi memang masih menjadi satu hal yang diperdebatkan oleh para
ahli, tetapi perdebatan tersebut dapat dipandang sebagai sesuatu yang
positif. Wisata sendiri selalu terkait dengan perjalanan atau kunjungan
ke destinasi dari objek atau tempat wisata yang ada pada suatu wilayah.
Ketika kemudian disandingkan dengan kata literasi yang identik dengan
kegiatan membaca atau menulis baik itu secara konvensional atau digital,
maka dapat terbentuk pengertian bahwa perjalanan wisata yang dilakukan
bukan sekadar rekreasi semata. Tetapi dapat pula dijadikan suatu
kegiatan untuk menggali fakta dan data yang pernah ada dari suatu
destinasi wisata.
Baik itu dari sudut sejarah, hikayat, atau budaya
masyarakat yang melatar belakangi terciptanya objek wisata tersebut.
Sehingga kemudian dari fakta dan data tersebut didapatkan berbagai
pengetahuan yang bermanfaat untuk disampaikan ke khalayak dalam bentuk
tulisan sejarah, karya penelitian, karya sastra, atau pula karya seni
pada umumnya.
Sementara
Hilmi Fabeta menyoroti pentingnya peran komunitas dan sinergi yang
terjalin antara, Akademisi, Praktisi dan Birokrasi dalam mewujudkan apa
yang digemakan melalui tema acara hari itu. Menurutnya komunitas itu
memunyai karakter atau ciri khas, setiap individunya berkumpul tidak
berorientasi terhadap uang, atau karena pesanan pihak tertentu, karakter
lainnya yaitu organik, dalam artian secara struktural mengikuti bentuk
organisasi tertentu, namun tetap memunyai cara masing-masing untuk
mengelola komunitas itu sendiri. Komunitas pula menjadi rumah yang aman
untuk membahas, memperdebatkan atau pula mengkritik berbagai persoalan
sosial yang terjadi di masyarakat, tetapi kemudian kesemua itu
disampaikan melalui cara-cara kesenian atau kesusasteraan, sehingga
hadir dengan kelembutan.
Terkait dengan tema acara Galakkan Wisata
Literasi, agar dapat memberikan efek positif ke arah yang dimaksud, maka
harus diupayakan dengan membangun sinergi antara akademisi, birokrasi
dan praktisi. Akademisi dapat merumuskan cara terbaik untuk menyerap
aspirasi dari masyarakat, dalam hal ini diwakilkan oleh komunitas,
kemudian birokrasi atau segala hal kebijakan semisal terkait perizinan
oleh pihak pemerintah atau aparat keamanan, sedangkan praktisi dapat
membuka celah untuk ide-ide yang ada memberi nilai ekonomis. Praktisi
dapat pula menggandeng pihak media untuk menyebarluaskan hal yang telah
dikemas tersebut agar diketahui oleh seluruh masyarakat.
Sedangkan
Heru Sudarmanto mengapresiasi keseluruhan acara dan aspirasi yang
muncul dalam sesi diskusi. Ia lalu mengungkapkan bahwa sebelum ia
menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kota Tangerang Selatan,
departemen kedinasan yang ia pimpin tersebut dulunya digabungkan dengan
bidang Kebudayaan, namun untuk saat ini bidang Kebudayaan telah
dileburkan ke dalam Dinas Pendidikan, sehingga menjadi Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan. Tetapi hal tersebut bukanlah menjadi suatu pelemahan
untuk Dinas Pariwisata dapat bertemu dan membangun kerjasama dengan para
pegiat kebudayaan. Karena pihaknya selalu berkolaborasi dengan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, saat ada gagasan program kegiatan yang
melibatkan para pegiat kebudayaan.
Tentu saja acara yang digagas oleh
Sastra Semesta dapat menjadi titik awal terciptanya sinergisitas antara
para pegiat kebudayaan dengan program-progam yang dicanangkan oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Karena di wilayah ini, terdapat
banyak potensi pegiat kebudayaan dengan level lokal, regional, nasional,
hingga Internasional.
Maka itu, Heru lalu menjanjikan bahwa setelah ini,
Dinas Pariwisata akan menyusun database potensi para pegiat kebudayaan
yang akan dirangkum menjadi bagian dari program kebijakan Pemerintah
Kota ke depannya. Selain itu Dinas Pariwisata juga berencana mencanangkan
kalender event untuk 2025 dengan segala potensi yang ada dan selama ini
belum terekspos secara faktual pada level nasional. Dinas Pariwisata
pun sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran para pegiat kebudayaan,
para praktisi dan akademisi untuk menggali serta mengangkat berbagai
kekhasan budaya yang telah lama ada di wilayah Tangerang Selatan.
( Wahyu Toveng )