Cerita Pendek: "Rumah Bapak."

   ( Illustrasi Rumah Bapak. dokumentasi foto milik BP )
 

7detik.com - Sastra Indonesia - Rumah Bapak

 Aku mendongak. Menatap ke luar jendela bus yang berjalan cepat. Pohon-pohon, deretan rumah dan pondok-pondok pedagang ikut bergerak. Kemudian bis berhenti, dua orang kernet dengan sigap turun lalu terburu menghampiri kerumunan orang di pinggir jalan seraya meneriaki nama-nama daerah yang akan dilalui bis.

“Liwat Jababeka?” tanya seorang bapak berpakaian sedikit lusuh. Sang kernet hanya mengangguk kemudian meraih tas bawaan si bapak tua itu dengan tergesa. Bapak tua pun ikut terburu-buru naik ke dalam bus, lalu berjalan tersendat menuju bangku belakang. Satu dua orang penumpang naik, sebelum bus kembali berjalan cepat.

Udara pagi masih terasa dingin menerobos kaca jendela bersamaan dengan panas mentari. Siulan angin terdengar nyaring saat jendela yang terbuka. Beradu dengan suara penyanyi dangdut dari salon yang terpasang di atas kemudi. Kepala si bapak sopir bergerak mengikuti irama musik dengan santainya. Sesekali si bapak sopir menyisir rambut dengan jemarinya. Tampak masih terlihat fresh, bajunya terlihat masih rapi dan bersih.

Jalanan mulai berkelok dan menurun. Kelajuan bus pun diperlambat. Sopir harus berhati-hati sekali jika tidak ingin terperosok ke perkebunan atau malah masuk ke dalam parit. Dari kejauhan, tampak  view kota Cirebon terlihat dari sela-sela pepohonan dan warung-warung yang berjajar di tepi jalan.

“Cikarang!” Ujarku seraya menyodorkan selembar uang seratus ribuan. Tanpa banyak bicara, kernet pun mengambil uang yang aku sodorkan. Ini memang bis kelas ekonomi yang dapat dibayar di atas bis, bahkan dapat tawar menawar harga. Sebetulnya, bisa saja aku menawar harga, tetapi aku sedang berbaik hati. Enggan bersitegang merebutkan uang lima ribu rupiah, meski akan ada kepuasan tersendiri setelahnya. Mengingat hal itu, aku tersenyum sendiri. Betapa konyolnya sifat perempuan, ongkos pun harus pakai tawar menawar.

Aku sengaja memilih bus ekonomi. Karena jalur yang akan dilalui berbeda dengan bus kelas bisnis atau bus berAC lainnya. Walau pun sampai tujuannya lebih lama dari bus bisnis, akan tetapi ada sensasi tersendiri selama perjalanan. Selain panas, berisik oleh pengamen, terganggu oleh para pedagang asongan, juga jalanan yang banyak berhenti.

Tadi pagi, sebelum aku berangkat, Mama terlihat kacau setelah kukatakan akan pergi ke Cikarang menggunakan bis ekonomi.

“Naik bus? Mobil kamu kenapa?” pekik Mama dari kamarnya. Lalu Mama tergopoh-gopoh menghampiriku yang sudah bersiap akan keluar rumah.

Melihat kekagetan Mama, justru aku tersenyum.

“Males bawa mobil, Mah. Pingin tidur di perjalanan,” sanggahku sembari meraih lengan Mama dan menciumnya.

“Isya pergi dulu, Mah.” Pamitku kemudian. Aku berlalu, tak ingin lebih lama lagi melihat wajah Mama dengan keterkejutannya. Meski pun semalam Mama sudah aku beritahu tentang keberangkatanku, tetapi wajahnya tetap saja gelisah. Aku tahu, gelisah kali ini karena aku tak bawa mobil. Berbeda dengan wajah gelisahnya malam tadi.

“Isya mau ke Cikarang, Mah!” ujarku semalam. Suara pelanku tak urung membuat Mama terkejut. Matanya membeliak ke arahku tak percaya.

“Kamu mau apa ke sana?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Rindu rumah, Mah,” jawabku datar sambil berlalu.

“Isyana!” pekikan Mama menahan langkah kecilku menuju kamar. Dengan tenang, kubalikkan badan ke arah Mama yang masih memperlihatkan keterkejutannya.

“Isya hanya rindu rumah itu, Mah.”

“Mama ga setuju!” Nada suara Mama mulai meninggi, tetapi tak membuat aku terkejut. Aku tahu, Mama tak akan setuju dengan kepergianku ke Cikarang, meski hanya satu atau dua hari dengan alasan rindu.

“Ga akan terjadi apa-apa, Mah. Percaya pada Isya!” sanggahku sebelum Mama melanjutkan lagi larangannya. Mama tahu, jika keinginanku sudah bulat, sukar untuk dilarang.

Hampir sepuluh tahun aku tak menginjakkan kaki ke Cikarang. Sepuluh tahun pula aku memendam keinginan untuk mengunjungi rumah masa kecilku itu. Bisa saja aku mencuri waktu dari Mama untuk pergi ke Cikarang secara diam-diam. Akan tetapi aku tak punya keberanian untuk melakukannya. Baru kali ini aku benar-benar ingin pergi ke sana.  Mengunjungi rumah lama, dan tidur di kamarku yang kecil. Waktu begitu cepat sekali berlalu. Sudah sepuluh tahun semenjak kami pindah ke Kuningan. Sepuluh tahun, dan itu terasa baru saja terjadi.

Sampai di pertigaan Cipali,bus mengambil jalan lurus menuju terminal Cirebon. Sementara bus lain, mengambil lajur kanan untuk memasuki tol Cipali. Jembatan panjang, mobil angkot yang berseliweran, pejalan kaki yang berlari menyeberang jalan, belum lagi motor yang melaju cukup kencang, membuat jantungku mulai berdetak lebih cepat.

Aku memilih duduk tepat di belakang bangku sopir. Dari sini, aku dapat leluasa melihat ke depan. Mengukur kelajuan bis yang lebih dari lumayan cepat dengan gerakan ke kiri dan kanan. Sementara, sopir, memegang kemudi dengan santai. Terlihat, sudah sangat hafal dalam mengendalikan kemudi di jalur pantura.

Memasuki Terminal Cirebon, kelajuan bus diperlambat. Di dalam terminal, bus hanya memutar sebentar, kemudian keluar dengan perlahan. Bis berjalan lambat di bahu jalan. Satu dua pedagang asongan melompat masuk bis. Seorang wanita penjual makanan menawarkan dagangannya ke setiap penumpang. Seorang laki-laki pedagang minuman dingin pun ikut menawarkan dagangannya dengan cara berteriak dari arah depan.  Cara menawarkan dagangannya memang seperti memaksa dan mengganggu. Mungkin hanya aku yang tidak terusik dengan suara mereka. Aku justru menikmati kericuhan di dalam bus ini. Terlebih lagi, bis mulai penuh. Entah lapar mata atau lapar perut, semua dagangan yang disodorkan ke arahku, aku beli tanpa menawar. Aku hanya senang saja melihat wajah pedagang yang semringah. Makan-makanan itu pun tidak mungkin habis aku makan sendiri. Karenanya, sebagian kusodorkan ke orang yang duduk di sebelahku, sebagian lagi kuberikan ke sopir.

 “Terima kasih, Mbak!” ujar sopir yang memandangku dari kaca spion. Untuk membalasnya, aku hanya tersenyum.

“Loh, Mba-nya sendiri ga makan,” ujar laki-laki tua yang duduk di sebelahku. Aku kembali tersenyum dan membuang pandangan ke jalan raya. Satu dua bis berjalan mendahului bis yang aku tumpangi. Sopir bis terlihat tenang sembari mengunyah makanan pemberianku. Aku kembali tersenyum. Biasanya, sopir bis selalu kebut-kebutan di jalan. Saling mendahului, saling menyalip tanpa peduli teriakan penumpang dengan wajah penuh ketakutan.

Bis masih berjalan pelan mencari muatan, meski penumpang sudah sesak. Bangku-bangku sudah terisi penuh. Kursi dekat sopir pun sudah dipenuhi penumpang. Ada juga yang berdiri, dengan tangan berpegangan ke sandaran kursi. Seperti tak peduli akan sesaknya penumpang, sopir, kernet dan pedagang asongan masih tetap berteriak mencari pelanggan.

Keringat mulai bercucuran, meski jendela bis terbuka lebar. Angin yang masuk seolah tak mampu menghilangkan rasa panas. Terlebih lagi matahari mulai meninggi. Beberapa orang terlihat menguap dengan susah payah. Beberapa orang berusaha mengubah posisi duduknya.  “Kasihan, orang itu pasti mabuk kendaraan. Pasti dia sedang mual, dan air liurnya mulai mengenang dalam mulut,” gumamku sembari memerhatikan wajah seorang wanita muda yang terlihat pucat. Wanita yang duduk membelakangi jendela bis itu terlihat menahan dirinya untuk tetap dalam posisi duduk. Tiba-tiba aku teringat minyak angin yang selalu terbawa dalam tas.

Setelah berusaha membuka tas yang terimpit, akhirnya kudapati juga botol minyak angin. Karena jarak antara aku dan perempuan itu terhalang banyak orang, aku pun meminta tolong kernet yang kebetulan berdiri dekat denganku untuk memberikan botol minyak angin ke perempuan muda itu. Perempuan berwajah pucat dengan kacamata tebal yang sedang berjuang melawan rasa mualnya. Aku tahu bagaimana rasanya dari ekspresi wajahnya yang gelisah, matanya yang terpejam dan bibirnya yang terkatup rapat.

 Dengan susah payah, minyak angin itu pun sampai juga ke tangan perempuan muda itu. Tanpa bicara, lengannya yang sudah gemetaran, meraih botol minyak angin dari tangan abang kernet. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dibukanya tutup botol dengan terburu hingga isinya nyaris tumpah. Aku memerhatikannya dengan perasaan yang ikut gelisah. Rasanya ingin membantunya memijit tengkuk dan kepalanya agar lebih nyaman. Seorang ibu yang duduk di hadapannya, memberikannya minum. Melihatnya, aku mulai lega. Berharap, minyak angin dan seteguk air dapat meringankan rasa tidak nyamannya selama perjalanan.

Dapat aku bayangkan bagaimana rasanya mabuk dalam bis ekonomi seperti ini. Penumpang yang sesak, suasana yang ricuh, panas, belum lagi bis yang kadang ngebut secara ugal-ugalan lalu berhenti mendadak. Rasa mual dan pening dapat datang seketika. Kondisi di mana keadaan tubuh sedang tidak fit, dapat menyebabkan mabuk dalam perjalanan. Keadaan seperti itu sangat tidak nyaman. Uring-uringan dengan suasana bising, keringat dingin mengucur, dada berdebar tak beraturan, air liur keluar tiada henti, tangan gemetaran, dan pening. Jika sudah muntah, tubuh jauh lebih baik. Akan tetapi muntah di tempat seperti ini? Aahh ... dapat aku bayangkan bagaimana rasanya, dan semoga perempuan itu dapat menahannya sampai nanti turun dari bis.

Aku sandarkan kepala bagian kanan ke besi penyangga jendela mobil. Mataku menatap tak berkedip ke bahu jalan yang berlarian. Menikmati jalannya bis yang masih normal. Bis mulai meninggalkan Cirebon. Di perbatasan Indramayu dan Cirebon, bis mulai menambah kecepatannya. Pepohonan pun kian cepat berlarian. Angin berembus begitu kuat dari jendela yang terbuka. Aroma anyir mulai tercium.

Deretan tambak garam sudah terlihat. Laut tanpa ombak besar yang terbentang luas di tepi jalan, memanjangkan pandanganku ke laut lepas. Beberapa kapal nelayan samar terlihat dari kejauhan. Pemandangan itu hanya sesaat, kemudian berganti dengan persawahan yang sangat luas. Bis sudah mulai memasuki daerah Subang. Terlihat deretan rumah makan, dan warung-warung penjual oleh-oleh. Banyak juga mobil pribadi yang berhenti dan beristirahat di depan restoran.

Bis ekonomi  jarang berhenti untuk beristirahat di rumah makan khusus bis dan truk. Biasanya mereka berhenti di pom bensin. Selain mengisi bensin, sopir akan mempersilahkan para penumpang untuk beristirahat. Seperti saat ini, ketika kernet berteriak, “Kita istrirahat satu jam. Yang mau makan, minum, buang air, atau sembahyang, silahkan. Di area SPBU tersedia rumah makan, wc umum dan musolah!” teriak laki-laki bertato dari pintu bis.

Satu persatu penumpang pun turun. Aku baru teringat dengan perempuan muda yang tadi pucat, namun dia sudah tak ada di tempatnya. Cepat sekali dia pergi, pikirku. Tanpa membuang waktu, aku pun turun. Sekedar meluruskan tubuh yang beberapa jam ini tak dapat bergerak bebas. Setelah mengerakkan tubuh ke kiri dan kanan beberapa kali, lega rasanya. Tubuhku tidak lagi kaku seperti tadi.

Melihat para penumpang yang sedang beristirahat, meski hanya membeli minum dan jajanan dari pedagang asongan, tak urung menggodaku juga. Dengan langkah ringan, aku menghampiri pedagang minuman dingin yang sedang duduk di tepi SPBU. Laki-laki setengah baya dengan caping bambu itu sedang sibuk melayani pembeli. Melihat wajah kusamnya sekilas pikiranku berjalan cepat ke sebuah perasaan lain. Sepertinya aku pernah mengenalnya, pikirku. Mungkin hanya dejavu, pikirku menukas perasaan aneh.

Setelah pembeli sedikit berkurang, aku menghampirinya. Meminta sebotol teh dingin. Tanpa menoleh, laki-laki itu dengan sigap menguar isi karung plastik tempat menyimpan dagangannya, mencari pesananku. Sebotol kecil teh dingin disodorkannya ke arahku. Tanpa banyak bicara, aku bayar dengan selembar uang dua puluh ribuan.

“Ambil aja kembaliannya, Bang!” ujarku sembari mengambil posisi duduk di sampingnya.

Sekilas, matanya menatap ke arahku sebelum mengucapkan kata terima kasih. Aku hanya tersenyum, kemudian membuang pandanganku ke arah jalan raya.

Beberapa bis ekonomi melintas dengan cepat. Beberapa mobil pribadi dan sepeda motor  memasuki SPBU secara bergantian. Petugas SPBU pun terlihat sangat sibuk melayani pelanggannya. Nyaris tak berhenti.

 “Mau kemana, Mbak?” tanya sebuah suara dan cukup mengejutkanku. Seorang laki-laki tambur duduk di sampingku seraya mengambil sebotol minuman dari pedagang asongan. Sejenak aku merasa ragu untuk menjawab. Ekor mataku menatapnya. Seraut wajah bulat yang hitam kemerahan itu seperti pernah kulihat. 

“Ngelamun, Mbak?” tegurnya lagi tak urung mengejutkanku juga.

“Oh ... Ga ... Ga, Mas!” jawabku tergagap karena kaget sekaligus malu ketahuan sedang menenung wajahnya.

“Turun di mana, Mbak?” lanjutnya.

“Oh ... Iya ... Di Kopo,” ujarku terbata. Dan .... ah sialan, kenapa aku jadi gugup? Umpatku. 

“Mau ke mana?” Mendengar keingin tahuannya, membuat aku terdiam.

“Ke Cikarang.” Jawabku datar setelah menenangkan kegugupan sendiri. 

“Turun di Jababeka aja, Mbak. Lebih dekat dari sana.” Usul pedagang asongan dengan suara rendahnya. Matanya menatapku tajam.

“Yah ... Lihat saja nanti.” Tukasku

“Wajahnya mirip tetangga saya, Mbak,” seloroh laki-laki tambur itu sembari menenggak minumannya, sementara jari telunjuk kanannya tertuju ke arahku. Spontan aku menatapnya tajam. Menelusuri tiap jengkal wajahnya, siapa tahu ada yang aku ingat.

“Dia orang Cikarang, dulu. Sekarang sih sudah pindah ke kampung.” Sambungnya tanpa aku tanya. Jelas jawabannya mengejutkanku. Aku memandang wajahnya semakin lekat.

“Mirip siapa, Bang?” potong pedagang minuman. Matanya menatap tajam ke arahku bergantian ke wajah laki-laki tambur itu.

“Siapa yah?” timpalku penasaran.

“Saya Santung. Sopir bus itu.” Selorohnya seraya mengulurkan lengannya, sementara dagunya di arahkan ke bus yang aku tumpangi. Aku hanya mengangguk tak mengerti apa yang ingin dikatakannya.

“Saya Roan, tetangga Bang Santung!” sela pedagang minuman dengan terburu menyambar lenganku. Aku kembali mengangguk tak mengerti.

Tiba-tiba aku merasa seperti orang bodoh. Kenapa aku bisa semudah ini menerima perkenalan dari orang yang tidak aku kenal, meski nama-nama yang disebutkan itu terasa tidak asing. Dengan mengerutkan dahi, aku mencoba mengingat nama-nama tetangga kami saat masih tinggal di Cikarang. Nama Santung dan Roan, aku rasa tak ada, gumamku. Atau hanya kebetulan, tukasku sendiri seraya menatap wajah ke dua orang yang baru memperkenalkan diri itu.

“Mbak, beneran mirip tetangga saya di Cikarang. Jauh sih dari rumah saya. Anaknya Pak Raden. Orang yang paling kesohor di sekitar tempat tinggal saya.” Paparnya dengan suara penuh keyakinan. Mendengar nama Pak Raden disebut, membuat aku nyaris melompat.

“Pak Raden? Yang pagar rumahnya berwarna coklat? Dekat dengan pasar?” selidikku lebih lanjut. Santung, laki-laki tambur sopir bus itu cepat mengangguk dan tertawa lebar. Sementara Roan diam saja seolah terkesima dengan pertanyaan dan penjelasan Santung.

“Betul kan, ini Isyana? Gadis tomboy yang sering naik pohon seri di depan rumahnya?” lanjutnya, membuat aku ikut tertawa.

“Iya betul. Aku Isyana.” Obrolan pun semakin lancar keluar dari bibir kami. Tertawa dan tergelak hingga lupa waktu.

“Bus sudah mau jalan lagi nih. Ayo obrolannya kita lanjutkan di mobil!” usul Santung. Aku segera beranjak mendahului Santung. Berjalan penuh keriangan menuju bus. Aku seperti menemukan cerita masa remaja yang nyaris terlupakan. Ternyata, Santung mengenalku dengan baik karena menurutnya, aku cukup terkenal. Sementara Roan hanya sepintas mengingatku. Menurut dia, saat aku masih tinggal di Cikarang, Roan masih kecil dan belum mengenal banyak orang. Aku cukup terhibur mendengar cerita mereka tentang teman-teman kecil yang masih menetap di Cikarang.

Rasanya sudah tak sabar ingin segera sampai. Sudah tak sabar ingin melihat wajah Bapak. Aku tak ingin memprediksi hal buruk tentang sikap ibu tiriku nanti. Aku hanya ingin tertidur sejenak di kamar mungilku. Menikmati dinginnya dinding kamar yang bersebelahan dengan kolam. Membayangkan semuanya, aku tersenyum seorang diri.

“Isya .... Mau ada urusan apa ke Cikarang?” pertanyaan Santung yang mengejutkan itu membuat aku terkesiap. Spontan aku menjulurkan kepala ke arahnya yang sudah berada di depan kemudi.

“Ke rumah Bapak,” jawabku. Sedikit aneh, kutatap wajahnya yang tak bergeming menatap ke arah jalan.

“Emang kamu belum tahu ceritanya?”

“Apa?” paksaku dengan nada suara agak tinggi.

Cukup lama Santung terdiam. Membiarkan aku dengan rasa penasaran. Dudukku mulai gelisah. Seperti ada sesuatu yang tidak mengenakan akan aku dengar. Mataku mengawasi jalan dengan setengah pikiran yang entah ke mana. Perasaanku benar-benar tidak enak.

Bus mulai memasuki tol Kopo. Kelajuan pun ditambah. Sehingga hanya dalam waktu dua jam, bus sudah sampai di tol Jababeka. Memasuki Cikarang, jalan mulai tersendat. Sana sini macet, panas dan debu bebas bertebaran. Masih seperti dulu, gumamku. Meski banyak bangunan baru, tetapi cuaca panas dan suasana macetnya tak berubah. Sejenak aku menikmati keadaan yang aku rindukan.

Sepanjang trotoar masih tetap dipenuhi pedagang dan pejalan kaki. Debu terlihat berhamburan setiap kali mobil bergerak. Suara klakson kendaraan bersahut-sahutan. Perlu waktu empat puluh menit untuk bisa keluar dari kemacetan di lampu merah. Bus pun berjalan pelan memasuki kawasan industri. Jalan terasa lebih kosong dan lenggang. Tak lama bus pun berhenti. Satu persatu penumpang turun. Tepat enam jam perjalanan, cukup melelahkan namun mampu mengobati kerinduan.

Aku masih terdiam di kursi penumpang. Menanti jawaban dari Santung, seperti menanti pengumuman pelulusan. Antara kabar baik atau kabar buruk. Sementara Santung sedang membereskan barang-barangnya.

“Kita makan siang dulu di rumah makan padang!” ajaknya, “sambil saya cerita,” lanjutnya. Aku menurut saja.

Mengikuti langkah Santung yang santai, membuat aku tak sabar. Dengan sigap, aku berjalan mendahului Santung menuju rumah makan yang berada di seberang jalan. Melihat langkahku lebih cepat darinya, Santung pun ikut mempercepat langkahnya. Seakan kami sedang berlomba menuju sepiring nasi putih dengan lauk rendang dan sambal hijau.

Hatiku masih diliputi rasa penasaran dengan pernyataan Santung. Aku harus bersabar, sampai sepiring nasi yang dia lahap, habis. Setelah itu, akan aku cecar dengan berbagai macam pertanyaan yang sejak tadi membelit pikiranku. Ada apa dengan Bapak dan rumah itu? Cerita apa yang tidak aku tahu? Pertanyaan-pertanyaan itu berserabutan tak tentu.

“Bener gga mau makan?” tanya Santung meyakinkanku lagi. Aku tetap menggeleng.

“Ada apa dengan rumah itu?” cecarku kemudian. Santung menghempaskan tubuh gempalnya ke sandaran kursi seraya menyedot dalam-dalam rokoknya.

“Kamu beneran ga tahu?” ulangnya. Gumpalan asap putih menyeruak dari bibir hitamnya. Aku tak menjawab, hanya saja tatapan mataku menatapnya tak berkedip.

“Sudah lama rumah itu disita bank,” terangnya dengan tenang. Jawaban Santung membuat tubuhku terhempas ke sandaran kursi dengan kuat. Aku ternganga tak percaya. Mataku membeliak. Bagaimana bisa, desisku.

“Sejak Pak Raden meninggal, istri mudanya banyak berhutang!” dan ini lebih mengejutkanku. Bagai disambar petir. Bagaimana mungkin Bapak meninggal, aku tak tahu. Seketika sendi-sendi tulangku terasa sangat lemas. Aku tak percaya.

“Ba-bapak sudah meninggal?” lirihku. Kali ini Santung yang terkejut. Matanya menatapku tajam.

“Kamu, tak tahu bapakmu meninggal?” cecarnya dengan nada tinggi. Aku mengangguk, dan air mata terjatuh tanpa terasa.

“Bagaimana bisa?” ulangnya dengan nada tak percaya.

Sejenak aku terdiam, membiarkan air mata terjatuh. Menenangkan gemuruh dalam dada. Meredakan debaran jantung yang berdetak sangat cepat.

                                                                   Biodata; 

Chie Setiawati asal Kuningan Jawa Barat. Hobi menulis dan membaca. Tergabung dalam komunitas Penyair Perempuan Indonesia, Founder Mom kreatif menulis. Karya²nya telah masuk dalam Antologi Rainy day Banjarbaru 2018, Alumni Munsi 2019, Haiku pilihan dalam majalah Haiku univ Haiku Tokyo, 1001 Tanka Indonesia, Haiku musim ke-4 & 5 New Haiku. Editor untuk buku antoligi Haiku Lelaki Indonesia Haikuku, editor untuk buku antoligi Haiku Perempuan Indonesia Haikuku, dan tergabung dalam 100 lebih buku antologi puisi, cerpen, sonian, novelet, dan haiku. 

 

      ( Redaksi 7.detik.com: hak cipta cerpen milik penulis secara pribadi.)