Cerita Pendek: "Narayana Dan Keheningan."

 

( Illustrasi Cerita )

7Detik.com - Sastra Karya Wahyu Toveng :

#1

Lalu kereta perang, kuda-kuda dan jutaan pasukan berbaris ketika gumpalan debu masih menata pijakan setelah tubuhnya dicerai-beraikan. Dan pada satu di antara banyak kereta, seorang Arjuna menatap cemas ke arah semua yang hadir di tempat itu. Sesaat sebelum sangkakala perang akan dibunyikan, rombongan kekhawatiran, penyesalan, rutukan, berbondong-bondong mendahului keluar dari mulutnya yang pernah menyerbu dan menundukkan hati banyak wanita dengan serat halus kata-kata. Sang Dananjaya itu goyah, tidak siap bakal menemui kenyataan bahwa tempat itu akan berubah menjadi sungai darah dan lautan mayat. Basudewa Krishna yang menjadi kusir untuk kereta perangnya hanya menoleh dan tersenyum, lalu melemparkan pandangannya ke seluruh penjuru. Begitu tajam tatapan itu, dan seketika keajaiban terjadi, aliran waktu terhenti, semua yang ada di situ menjadi diam seperti patung, bahkan burung-burung yang terbang melintaspun terhenti di udara. Hanya Arjuna dan Sang Narayana yang bergerak dan saling berkata-kata dalam keheningan.


#2

Sang Bisma yang agung tak bergeming meski Basudewa Krishna telah memperingatkannya dengan keras. Ia tetap mengangkat busur panahnya dan mulai membidik, tak ada ragu. Basudewa pun habis kesabarannya, ia campakkan tali kekang kuda kereta perang Arjuna, lalu melompat ke tanah. Bumi pun berguncang, Sang Putra Kunti di belakangnya terkejut menyaksikan sosok yang dihormatinya itu diliputi kemurkaan yang teramat sangat terhadap kakeknya. Para prajurit Kurawa dan Pandawa yang tengah bertarung hidup-mati pun sejenak berhenti, namun aura dan kharisma putra Dewaki itu membuat mereka tak berani menoleh dan memilih melanjutkan pertempuran di antara sesama mereka. Basudewa melangkah pasti menuju sebuah kereta perang yang telah hancur dengan kuda-kudanya yang tergolek mati tak berdaya, tertancap anak panah dan tombak. 

"Lihatlah roda kereta ini, wahai Bisma, kau akan terbunuh olehnya!" 

Lalu dengan sigap, ia mengangkat roda tersebut dan mulai berjalan menuju kereta perang sang Putra Gangga yang berjarak hanya seratusan meter saja darinya. Bisma yang sedari tadi telah bersiap dengan rentangan busurnya, seketika melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat deras dan sedetik setelah meninggalkan busurnya, anak panah tersebut membelah diri menjadi ratusan anak panah yang semuanya menuju ke arah Basudewa. Arjuna terkesiap, begitu pula Abhimanyu, putranya yang tiba belakangan di tempat itu dengan kereta perangnya. Basudewa tetap menatap tajam ke arah Bisma sambil terus berjalan dengan membawa roda kereta yang diangkat di atas kepalanya. Dan tepat ketika ratusan anak panah tadi hampir tiba, keajaiban terjadi, aliran waktu terhenti, anak-anak panah tersebutpun terhenti satu meter jaraknya dari tubuh Basudewa, semua yang ada di situ menjadi diam seperti patung, Arjuna, Abhimanyu, seluruh pasukan yang tengah bertempur, peluru-peluru meriam, kobaran api dan asap, burung-burung yang melintas di udara, awan-awan, debu-debu, semuanya membeku tak bergerak. Hanya Bisma dan Sang Narayana yang bergerak, kemudian saling berkata-kata dalam keheningan.


#3

Seusai Yudistira menjawab pertanyaan perihal kematian Aswatama, maka meledaklah amarah Sang Dronacarya, guru agung para putra dinasti Kuru itu tak sanggup menerima kabar bahwa putranya telah terbunuh.

"ASWATAMAAAAAAAAAARRGH....!!!"

Suaranya melengking menggemparkan seisi medan perang, para prajurit kedua belah pihak yang sibuk saling membunuh bergidik gemetar mendengarnya. Aswatama yang tengah bertempur tak jauh dari Duryudana pun terkejut mendengar suara jeritan ayahnya. 

"Ayaah.., apa yang terjadi dengannya, mengapa ia berteriak memanggilku seperti banteng terluka seperti itu?!" Tanya Aswatama terbelalak dan keheranan ke arah suara ayahnya yang terhalang pertempuran tiga kilometer darinya. 

"Sesuatu yang buruk telah terjadi pada guru Drona, pergilah kau kesana Aswatama, ayahmu membutuhkan bantuanmu!!" Teriak Duryudana kepada Aswatama dari atas kereta perangnya. Namun laju Aswatama dihadang Drestayumna, putra dari raja Drupada yang telah gugur di tangan Dronacarya.

"Hendak kemana kau Aswatama, hadapi aku, ayahmu telah membunuh ayahku, maka aku harus membunuhmu di sini, sebagai balas Pati!!" Hardik Drestayumna. Kakak tertua dari Srikandi dan Drupadi itu memang sengaja ditugaskan untuk menjauhkan Aswatama dari posisi ayahnya di medan perang. Melihat hal itu Duryudana tidak tinggal diam,

"Biar aku yang menghadapi anak raja Drupada ini Aswatama, kau tetap pergi menemui ayahmu!" Perintah Duryudana sekali lagi kepada Aswatama. Tiba-tiba Duryudana diserang ratusan anak panah dan tombak dari segala arah, kereta perangnya pun dikepung pasukan pilihan bersenjata gada dan pedang yang datang bersama Drestayumna. Dikepung sedemikian rupa membuat Duryudana kerepotan juga, ia tidak bisa mendekat ke posisi kereta perang Aswatama dan Drestayumna yang tengah berhadap-hadapan. Drestayumna kemudian berhasil melepaskan panah sakti yang menghancurkan kereta perang Aswatama berkeping-keping, kusir dan kuda penarik kereta terbunuh saat itu juga, sedangkan Aswatama berhasil melompat sambil mencabut gada. 

"Kurang ajar, kau anak Drupada, kau akan menyusul ayahmu ke alam baka!!" Seusai berkata demikian, Aswatama langsung menghambur ke arah Drestayumna, dan Drestayumna pun melompat dari atas kereta perangnya, menyongsong serbuan Aswatama mereka lalu terlibat dalam pertarungan sengit. 

Sementara itu para Pandawa tak menyangka begitu dahsyatnya kemurkaan guru yang sangat mereka hormati. Meski Yudistira di akhir kalimatnya tentang kematian Aswatama tadi, menyebutkan secara perlahan bahwa yang mati adalah seekor gajah tunggangan perang bernama Aswatama. Namun Dronacarya tak mendengar hal itu dan lebih  diliputi kekalutan. Kini sang brahmana bersumpah untuk membunuh seluruh manusia, juga menghancurkan dunia seisinya dengan Brahmastra, senjata sakti para dewa yang didapatkannya dari Begawan Parasurama. 

"Saksikanlah oleh kalian, hei putra Pandu, saksikan kedahsyatan Brahmastraku ini, aku bersumpah tak akan ada satu pun manusia yang bisa hidup, dunia ini dan seisinya akan hancur tak bersisa, kalian harus bertanggung jawab atas kematian anakku!" Teriak Dronacarya penuh kemurkaan, ia lalu berlutut sambil mengangkat busur panah, merapal mantra pemanggil senjata sakti itu, langit berubah menghitam, suara gemuruh guntur terdengar berulang-ulang menyalak memekakkan telinga. Banyak prajurit biasa dari kedua belah pihak langsung tumbang tewas seketika saat mendengarnya. Bahkan para Pandawa berdiri gemetar, tak terkecuali Arjuna yang juga memiliki kemampuan untuk memanggil Brahmastra, aura kematian pun mulai merebak. Menyaksikan hal itu, Basudewa Krishna bangkit berdiri dari kursi kusir kereta perang Arjuna, ia memandang tajam ke arah sang brahmana, 

"Demi dendam dan luka-lukamu, seluruh umat manusia dan dunia seisinya ini harus menanggungnya, begitu bijakkah dirimu sebagai seorang guru besar, wahai putra Resi Bharadwaja?!!" 

Suara Basudewa begitu menusuk, membuyarkan konsentrasi Dronacarya, brahmana yang kini bertindak sebagai panglima perang pihak Kurawa menggantikan Bisma sejak hari ke-11 itu, membuka matanya dan didapatinya tatapan Basudewa yang tersenyum sinis kepadanya. Aura sinar biru Brahmastra perlahan meredup di Busur panahnya. Sementara Basudewa melemparkan pandangannya ke seluruh medan perang, keajaiban pun terjadi, aliran waktu terhenti, semua yang ada di situ menjadi diam seperti patung, para Pandawa,  seluruh pasukan yang tengah bertempur, peluru-peluru meriam, kobaran api dan asap, burung-burung yang melintas di udara, awan-awan, debu-debu, semuanya membeku tak bergerak. Hanya Dronacarya dan Sang Narayana yang bergerak, kemudian saling berkata-kata dalam keheningan.


#4

Di ujung timur medan perang Kurusetra,  hanya tersisa mayat-mayat pasukan dari kedua belah pihak, perang semakin bergeser ke arah barat, setelah kematian Guru Drona, pasukan para Kurawa dan sekutunya semakin menyusut. Hampir senja ketika Raja Angga Karna dengan kereta perangnya yang dikusiri Raja Salya dari Kerajaan Madra, terlihat dikejar oleh kereta perang Arjuna yang dikusiri Basudewa Krishna. Karna sengaja berusaha menarik dan menjauhkan Arjuna dari pusat peperangan. Sesaat ia tertegun menatap ribuan tubuh malang tak bernyawa yang bergelimpangan tak tentu arah dengan berbagai kondisi mengenaskan, betapa peperangan begitu keji apapun alasannya. 

"Hendak kemana kau Raja Angga?! Ayo cepat lanjutkan pertarungan kita, kau sangat ingin membunuhku bukan, untuk membuktikan kau ksatria terhebat!! Arjuna meneriaki karna dari atas kereta perangnya yang terus mengejar di belakang. 

Karna menoleh, tetapi justru pandangannya tertumbuk kepada Basudewa yang tengah mengendalikan kuda penarik kereta perang Arjuna. Raja Dwaraka itu tersenyum ke arahnya, Karna membalasnya sinis sebelum beralih pandang tajam ke Arjuna, namun ia tidak menyahuti teriakan Arjuna tadi. Karna melihat jejak yang dibuat dari roda kereta perangnya sendiri, jejak dari genangan darah para pasukan yang tewas. Sesaat ia tertegun, seakan seluruh hidupnya tertakdir untuk mencipta lukisan sungai darah yang kuasnya adalah roda dari kereta perangnya. "Apakah sesaat lagi darahku akan menciptakan sungai itu juga?" Karna membatin. 

Karna naik menjadi panglima perang Kurawa sejak hari ke-15 menggantikan guru besar Dronacarya yang telah gugur dipenggal Drestayumna. Putra Dewa Surya itu lalu menantang duel hidup-mati dengan Arjuna, satu-satunya putra Pandu, yang telah ia janjikan kepada Dewi Kunti untuk ia bunuh dalam perang Baratayudha ini. Sebelumnya Karna begitu pahit mendapatkan kenyataan bahwa ia adalah kakak tertua dari kelima Pandawa. 

"Ampunilah aku Ibu, tidak mungkin aku meninggalkan Duryudana dan saudara-saudaranya, mereka telah mengangkat derajatku selama ini, seperti halnya ibu Radha dan ayah Adhirata yang telah mengasuh dan membesarkan sejak bayi" Ucap Karna getir dan satir kepada Dewi Kunti ketika Ibu para Pandawa tersebut memberitahu jatidirinya sesungguhnya. 

Ia hanya menjanjikan kepada Ibu kandungnya, yang telah menghanyutkannya ketika masih bayi dalam sebuah keranjang di sungai Gangga itu untuk tidak membunuh keempat putra Pandu selain Arjuna. Dan ia telah membuktikannya, sebelum menantang duel dengan Arjuna, Karna telah terlebih dahulu mengalahkan dan mempermalukan Yudistira, Bima, Nakula, dan Sadewa, namun tidak membunuh mereka. Hanya Arjuna lah yang selalu membuatnya tersaingi sebagai ksatria selama ini, Karna pun meyakini, Arjuna juga pasti berkeinginan besar untuk mengalahkannya, alasan lainnya, kematian Arjuna tentu saja dapat berpengaruh besar bagi kemenangan para Kurawa. 

Tiba-tiba satu insiden tak terduga terjadi, satu roda kereta perangnya terperosok dan selip ke dalam lumpur. Salya, sang Raja Madra  yang menjadi kusir, menolak untuk mengangkat dan mengeluarkan roda kereta perangnya dari dalam lumpur. 

"Aku datang bersama pasukanku dan terlibat dalam perang ini sebagai seorang Raja, aku terpaksa berperang di pihak Kurawa karena kelicikan dan sifat pengecut Duryudana beserta saudaranya, begitu pula aku yang terpaksa menuruti perintahnya menjadi kusirmu. Tetapi jika kau memintaku mengangkat roda keretamu ini dari dalam lumpur, itu sama saja menghinaku, kau angkatlah sendiri hei Karna, bukankah kau adalah anak seorang kusir, tentu kau lebih paham!!" Tegas Salya. Sesungguhnya Salya adalah paman kandung  dari Nakula dan Sadewa yang terjebak harus bertempur di pihak Kurawa, ia adalah kakak dari Dewi Madrim, istri Pandu selain Dewi Kunti. 

"Aku memang anak seorang kusir dan ya, aku lebih paham soal roda kereta ketimbang engkau yang mulia tuan raja Salya yang terhormat!" Wajah Karna merah padam, terpaksa ia meletakkan busur panahnya dan turun dari kereta, menjejakkan kakinya di tanah kurusetra. Tepat saat itu pula kereta perang Arjuna tiba di hadapannya, melihat kondisi kereta perang Karna yang terperosok ke dalam lumpur hingga posisinya miring dan keadaan Karna yang tidak memegang senjatanya, Basudewa Krishna pun memerintahkan Arjuna untuk segera membunuh Karna, 

"Partha, sekaranglah saat yang tepat untuk menghabisi Raja Angga Karna, cepat bidik panahmu ke arahnya!! Ucap Basudewa. Mendengar hal tersebut Karna mengingatkan Arjuna dan Basudewa bahwa ia tidak sedang bersenjata dan tengah mengalami kesulitan dengan roda keretanya, 

"Jika benar, kau adalah Ksatria paling hebat dan menjunjung tinggi nilai kebenaran serta tidak berlaku curang, maka biarkan aku mengangkat roda keretaku ini dahulu, agar aku bisa menyandang senjataku dan kita dapat kembali bertarung sebagai Ksatria, wahai Arjuna!" Teriak Karna sambil melanjutkan mengangkat roda keretanya.

"Dia benar Basudewa, dia sedang tidak bersenjata dan kesulitan dengan roda keretanya, jika aku membunuhnya saat ini, kelak dunia akan menilai tindakanku sebagai pengecut dan curang!" Ujar Arjuna penuh keraguan dan membenarkan ucapan Karna, namun tidak bagi Basudewa. Dengan tatapan tajam, adik dari Prabu Baladewa itu mempertanyakan balik sikap Ksatria yang dimiliki Karna, 

"Wahai Raja Angga Karna, jika benar kau adalah Ksatria hebat yang menjunjung tinggi nilai kebenaran, mengapa dulu kau ikut menghina Drupadi sebelum akhirnya ia hampir ditelanjangi Dursasana di balai sidang istana terhormat Hastinapura, kau pun ikut menghabisi Abhimanyu yang telah tak bersenjata dan dikeroyok seluruh jenderal dan pasukan Kurawa, lantas sikap Ksatria seperti apa yang kau bicarakan kini?" 

Setelah berkata demikian, Basudewa sekali lagi memerintahkan Arjuna untuk membidik dan membunuh Karna saat itu juga. Arjuna yang awalnya ragu, lalu mulai bersiap dan memperingatkan Karna bersiap untuk kematiannya, melihat hal itu dengan gemetar Karna berucap getir, 

"Baiklah, jika kau memaksaku Arjuna, aku akan menggunakan senjata Brahmastra pemberian begawan Parasurama untuk melawanmu!" 

Putra angkat Radha dan kusir Adirata itu pun merapal mantra pemanggil Brahmastra, namun keanehan terjadi, senjata itu tak kunjung terwujud di tangannya dan tak lama ia pun tak mampu mengingat mantra pemanggilnya. Arjuna yang habis kesabarannya meneriaki Karna, 

"Cepatlah Raja Angga Karna, panggil Brahmastramu, biar aku membunuhmu dalam keadaan bersenjata!!" 

Karna terkesiap, ia mencoba merapal kembali mantra pemanggil Brahmastra, namun apa yang pernah ia pelajari dari begawan Parasurama tak mampu diingatnya sama sekali, di tengah kepanikannya itu ia pun bertanya, 

"Apa yang terjadi padaku begawan Parasurama, mengapa anugerah darimu menghilang dariku tak berbekas di saat genting seperti ini?" Ucap Karna dalam batinnya. 

Karna terlupa bahwa begawan Parasurama pernah mengutuknya sebelum mengusirnya. Bahwa kelak ia akan mengalami kesialan ketika menghadapi situasi menyulitkan dalam hidupnya. Ia tidak pula dapat mengingat semua ilmu yang dipelajari serta anugerah yang didapatkannya selama menjadi muridnya. Kutukan itu terucap setelah sang begawan mengetahui jatidiri Karna sesungguhnya yang menyamar sebagai brahmana hanya karena ingin mendapatkan ilmu dan kesaktian darinya. Karna adalah Kesatria dan begawan Parasurama sangat membenci para Ksatria di masa itu, mereka menciptakan banyak pertikaian, sengketa, pertempuran, dan kematian. Sebab itulah Begawan Parusamara pernah menumpas banyak ksatria. Basudewa sangat mengetahui hal ini dan dapat mendengar apa yang diucapkan Karna penuh kekalutan dalam hati.

"Wahai, Raja Angga Karna!"

Karna mengangkat wajahnya setelah Basudewa menyebutkan namanya dengan suara berwibawa dan penuh hormat. Karna mengetahui siapa Basudewa dan kapasitasnya selama ini, ia menaruh rasa hormat yang sama terhadap Basudewa, sosok yang pertama kali memberitahu bahwa Karna adalah juga putra dari Dewi Kunti. 

Basudewa tersenyum ke arahnya penuh arti lalu melemparkan pandangannya ke seluruh medan perang, mendadak keajaiban pun terjadi, aliran waktu terhenti, peperangan yang masih terlihat berlangsung di kejauhan terhenti, para pasukan kedua belah pihak yang tengah bertarung, peluru-peluru meriam, kobaran api, kepulan asap, anak panah dan tombak yang sedang melesat, tampak tak bergerak. Semua yang ada di situ mendadak diam dan mematung, tak terkecuali Arjuna yang tengah merentangkan busurnya, para pengevakuasi prajurit yang terluka dan tewas, kuda-kuda, gajah tunggangan perang, burung-burung yang melintas di udara, awan-awan, debu-debu, seluruhnya membeku bisu tanpa ada gerak kehidupan. Hanya Karna dan Sang Narayana yang bergerak, kemudian saling berkata-kata dalam keheningan.


2024
(Sebuah Adaptasi Dari Epos Mahabharata)




Biodata Penulis:

Wahyu Toveng, kelahiran Jakarta 1977 Alumni dari Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra, puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama. Meliput untuk Media Digital Semesta Seni 2019 - 2021, Pernah berperan sebagai Brojo dalam lakon berjudul PERTJA bersama Pandu Teater untuk Festival Teater Jakarta Pusat 2021. Pemenang kedua Love Poetry Competition 2022 Majalah Figure Explor, Pemenang Puisi Terbaik Anugerah Negeri Kertas, Hak Asasi Manusia 2022. Nominasi Anugerah Sastra Apajake 2023 Kategori Puisi, Juara Harapan 2 Lomba Cipta Puisi Grup FB Hari Puisi Indonesia 2023