7detik.com, Sejarah - Asal-usul Nenek moyang Suku Sunda berasal dari keturunan Austronesia (ras Mongolid atau ras yang tersebar dari Taiwan hingga Hawaii) yang berada di Taiwan. Kemudian, mereka bermigrasi melalui kepulauan Filipina sampai tiba di Jawa sekitar 1.500 hingga 1.000 Sebelum Masehi. Suku ini menempati hampir seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat. Suku Sunda terbagi menjadi dua, yaitu Sunda Priangan dan Sunda Banten (masih terbagi Sunda Banten, Baduy dalam, Baduy luar).
Ciri khas dari suku Sunda dapat dilihat dari bahasa, bentuk rumah, sistem kekerabatan dan kesenian.Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasa dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang, dan bersahaja.
SEJARAH:
Suku
Sunda tidak memiliki mitologi tentang penciptaan yang mengisahkan asal
usul seperti etnis lain. Bahkan, tidak ada pula cerita rakyat yang
menceritakan tentang bagaimana dan sejak kapan Suku Sunda mendiami
wilayah Pulau Jawa bagian Barat. Apalagi catatan yang menjelaskan
tentang asal mula suku ini, sama sekali tidak ditemukan. Namun yang
pasti, Suku Sunda memiliki adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan
sendiri, berbeda dari suku lain yang menempati Pulau Jawa.
Dilansir
dari Sejarah Suku Sunda yang ditulis oleh Roger L. Dixon pada tahun
2000, masyarakat suku Sunda awal menetap di wilayah Jawa Barat,
Kemungkinan terjadi pada abad pertama masehi, yang mana terdapat
sekelompok kecil suku Sunda tengah menjelajahi hutan-hutan pegunungan
dan melakukan tradisi tebas bakar untuk membuka hutan.
Kata
Sunda berasal dari akar kata "sund" atau kata "suddha" dalam bahasa
Sanskerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau, atau
putih. Dalam bahasa Kawi dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda,
dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air,
tumpukan, pangkat, atau waspada.
Nama
Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk
menyebut ibu kota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk
mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670,
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa
menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah
menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan
Sungai Citarum sebagai batasnya.
PANDANGAN HIDUP:
Pandangan
hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati
pada ungkapan tradisional sebagai berikut: "Hana nguni hana mangké, tan
hana nguni tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma
beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak
tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna." (Sanghyang Siksa
Kandang Karesian).
Artinya: Ada dahulu ada
sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa
silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini.
Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang,
bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.
AGAMA DAN KEPERCAYAAN:
Mayoritas
orang Sunda beragama Islam (sekitar 99,84%), tetapi ada juga sebagian
kecil orang Sunda yang beragama Kristen (sekitar 0,09%) Ada pula
beberapa suku Sunda yang masih menganut ajaran Hindu-Buddha, tetapi
jumlahnya sangat sedikit yakni 0,01% dari populasi. Beberapa dari mereka
diketahui mempunyai darah/keturunan bangsawan kerajaan Sunda pada zaman
dahulu pada masa Hindu-Buddha.
Agama
Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda,
seperti pada masyarakat Sunda Baduy. Pada dasarnya, Sunda Wiwitan ini
adalah bentuk kepercayaan atau agama lokal yang berkembang di Tanah
Pasundan. Sama halnya dengan agama lokal lainnya yang begitu melekat
pada sistem kepercayaan berdasarkan tradisi leluhur, pandangan hidup,
dan praktik persembahan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu. Dalam
kepercayaan Sunda Wiwitan ini, masyarakat mempercayai adanya kehadiran
kekuasaan tertinggi yang disebut sebagai Sang Hyang Kersa atau Gusti
Sikang Sawiji-Wiji (Tuhan yang Satu atau Tunggal).
Pusat
dari kepercayaan Sunda Wiwitan ini adalah Kerajaan Padjajaran yang
dalam perkembangan zaman sekarang ini justru semakin menghilang. Namun,
kemudian terbagi menjadi beberapa jenis dengan ciri khas sejarah
masing-masing, salah satunya adalah komunitas Agama Djawa Sunda (ADS) di
Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
BAHASA
Dalam
percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda,
namun di perkotaan seperti Bandung, Bogor dan beberapa kota besar
seperti Jakarta, Bahasa Sunda sudah bercampur penggunaannya dengan
Bahasa Indonesia.
Bahasa
Sunda terbagi menjadi beberapa tingkatan yakni kasar pisan (sangat
kasar), kasar (kasar), sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan
(sangat halus).
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
• Dialek Barat (Banten, sebagian barat Kabupaten Bogor khususnya wilayah Jasinga Raya, dan sebagian barat Kabupaten Sukabumi)
•
Dialek Utara (Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Karawang, sebagian
timur Kabupaten Bekasi, Kabupaten Purwakarta, dan sebelah utara
Kabupaten Subang)
• Dialek Selatan (Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Sukabumi)
• Dialek Tengah-Timur (Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu bagian selatan, dan sebagian barat Kabupaten Kuningan)
• Dialek Timur Laut (Kabupaten Kuningan, sebagian barat Kabupaten Brebes dan sebagian selatan Kabupaten Cirebon)
•
Dialek Tenggara (Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran,
dan sebagian timur dan utara Kabupaten Cilacap khususnya Kecamatan
Dayeuhluhur)
SENJATA TRADISIONAL
Kujang, Bedog, Patik, Congkrang, Ani-Ani (Ketam), Sulimat, Gacok, Bajra dan Gada. Dan ada beberapa lagi yang tidak disebutkan.
KESENIAN
Seni tari
Tari Jaipong, tari merak, dan tari topeng, sisingaan, sasapian. Ada beberapa lagi, yang tidak disebutkan.
Seni teater
Tanah
Pasundan terkenal dengan kesenian wayang golek. Wayang Golek adalah
pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh
seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Dalang
wayang golek terkenal yaitu alm Ki Asep Sunandar Sunarya
Seni musik
Beberapa lagu khas Sunda : Bubuy Bulan, Es Lilin, Manuk Dadali, Tokécang, Mojang Priangan
Selain
itu, ada alat musik khas Sunda di antaranya adalah: Angklung, Calung,
Degung, Kacapi, Karinding, Suling, Tarawangsa, beberapa penyanyi
terkenal dari Suku Sunda antara lain Nike Ardila, Iis Dahlia, Rhoma
Irama dll
Seni sastra
Beberapa
karya Sastra Sunda yang dikenal oleh masyarakat luas adalah : Babad
Cerbon, Cariosan Prabu Siliwangi, Carita Ratu Galuh, Carita Purwaka
Caruban, Nagari, Carita Waruga Guru, Kitab Waruga Jagat, Layang Syekh
Gawaran, Pustaka Raja Purwa, Kitab Pramayoga, Sajarah Banten
RUMAH ADAT
Secara
tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m
– 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Rumah adat Sunda
sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap
dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan
Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub,
Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah
bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar
budaya atau di desa-desa.
SISTEM KEKERABATAN
Sistem
keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik
dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak
sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama
Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi
kehidupan suku Sunda.
TOKOH TOKOH LEGENDA SUNDA
Prabu
Siliwangi, Putri Kadita (Nyo Roro Kidul), Sangkuriang, Dayang Sumbi,
Ciung Wanara, Dyah Pitaloka Citraresmi, Prabu Kian Santang dll
PAHLAWAN NASIONAL DARI SUNDA
H
Ahmad Sanusi, Ir. H. Juanda Kartawijaya, Dewi Sartika, R. Otto
Iskandardinata, Laksamana Laut R.D. Eddy Martadinata, Mohammad Toha, Ki
Bagus Rangin, Suwarsih Djojopuspito dll.
( Johan, di lansir dari berbagai Sumber, Sabtu 07/09/24 )