Ruang Sastra Jakarta - 7detik.com - Ini dia, 5 Puisi Pemenang Event Cipta Puisi Bulanan Grup Facebook
Komunitas Literasi Betawi ( KLB - red ) Edisi Juli - Agustus 2024, Tema: Refleksi Kemerdekaan
Bagi Anak-Anak Penerus Bangsa.
SAJAK PENJAGA
karya: Denok Aisandi
ketika matahari tegak lurus dengan tanah-tanah jumawa, pohon sengon rindu anak-anak tertawa berkejaran di pinggir kali. akupun begitu, saat menatap akta kelahiran. telah tercatat waktu dan tempat, tapi nasib tak dapat ditemukan di barisan kata, melainkan pada arsip kebijakan para tetua. ketika udara dipenuhi asap-asap mobil mewah, napas mereka serupa sisa beras di akhir bulan, suara crane menancapkan tiang-tiang besi di bawah jembatan, sesekali menyusup dalam gerakan peristaltik di usus-usus yang mengutuk kelaparan, terpaksa ditelan walau rasanya edan.
tadi pagi sekolah mengajarkan, menggabungkan kata dalam bahasa, lupa jika kalimat mereka telah disiapkan untuk tidak terucap ketika dewasa. sedang pada kelas deret bilangan, wajah-wajah cantik dan terik sedang mengulik rumus Sn = ½ n (2a + (n-1) b), soal cerita; “Setiap akhir bulan, ibu menghutang ke warung dengan besaran hutang selalu lebih tinggi dari sebelumnya. apabila pada bulan pertama ia berhutang sebesar satu juta dan di bulan kedua satu setengah juta, begitu juga bulan selanjutnya selalu naik setengah juta dari sebelumnya. maka, berapakah jumlah hutang ibu ketika sudah mencapai ratusan bulan?” ya, lebih baik kita semua mati saja dalam kubangan paylater. ayah punggungnya setengah robek, menahan atap rumah yang sebentar lagi karam.
hampir delapan dasawarsa, senja mereka kini bukan lagi soal
lelah menyambit layangan dan berebut benang gelasan. karena lahan telah menjadi
rampasan, perang saudara yang tak kunjung reda di podium para pelacur politik.
surau-surau berhenti mengaji, marbotnya sibuk mengurusi konsesi, mereka kembali
berlarian di pelataran zaman yang makin rejan. digitalisasi sejenak menjadi
kemah pengungsi, dari bencana-bencana kekalahan. nak, tegaklah ke langit yang
gelap, dunia tidak pernah berubah, menjanjikan surga untuk manusia. bendera di
depan rumah masih dikibarkan angin-angin harapan, garuda masih terbang lalu
lalang di antara drone-drone yang jatuh di lubang-lubang bekas tambang,
tetaplah terjaga di malam-malam panjang dan siang-siang yang sumbang.
Bekasi, 29 Juli 2024
KEMERDEKAAN BLA-BLA-BLA (III)
karya: Erwan Juhara
Apakah Kemerdekaan sama dengan Kamerekaan?
Dua-duanya muntah dalam bibir zaman
Yang satu menjadi retorika sejarah bangsa
Yang satu menjadi gosip nasi basi
Tetapi apakah yang tersisa dari keduanya
Selain rasa nyeri dan kepedihan?
Kemerdekaan adalah bla-bla-bla
Apakah kemerdekaan sama dengan kemarukan?
Dua-duanya tumpah dalam gairah zaman
Yang satu menjadi romantisme historis martir bangsa
Yang satu menjadi obsesi para raja pasi
Tetapi apakah yang tersisa dari keduanya
Selain petisi sunyi dan wabah korupsi?
Kemerdekaan adalah bla-bla-bla
Apakah kemerdekaan sama dengan keracunan?
Duanya-duanya tewas dalam perjalanan zaman
Kemerdekaan adalah bla-bla-bla.
Bandung, 17080724
Bionarasi: Erwan Juhara, kelahiran Bandung, Januari 1968, Ayah Sunda, Ibu Aceh. Pernah studi IKIP Bandung dan PPS Unpad Bandung. Selain menjadi Penulis dan Pengarang ia menjadi Guru SMAN 10 Bandung dan Dosen MKU Bahasa Indonesia dan MKU Sejarah Kebudayaan Indonesia di Jurusan Mandarin Akademi Bahasa Asing(ABA) Internasional Bandung; pun sebagai Ketua Umum Yayasan Jendela Seni Bandung, Pengurus Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI) Jabar; Ketua Umum Asosiasi Guru/ Dosen/ Tenaga Kependidikan Penulis/ Pengarang (AGUPENA) Jabar. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen, puisi dll. dimuat di berbagai media massa lokal, nasional, asteng. Beberapa kali memenangkan lomba menulis karya ilmiah/populer, fiksi di tingkat lokal dan nasional.
NYERI ITU BERNAMA KEMERDEKAAN
Karya : Ence Sumirat
Jangan ucap tujuh puluh sembilan
Karena di depan tak ada jalan emas terbentang
Bukankah jalan dan rambu telah dirobohkan
Hanya demi kepuasan tanpa melibatkan nama Tuhan yang telah memberikan
Jangan sebut tujuh puluh sembilan
Jika hanya bisa membuat dinding
Di mana kebahagiaan tak terbagikan
Dan kesedihan menumpuk di pojok ruangan
Jangan pekik tujuh puluh sembilan
Karena mulut telah telanjur disumpal
Oleh ketololan dan kegoblokan
2024
Bionarasi: Ence Sumirat lahir di pedalaman Cianjur Selatan tahun 1971.Belajar menulis puisi secara otodidak.Antologi puisinya, Ode Untuk Mak Erot (Adab, 2023).Puisi antologi bersamanya antara lain, LIKE(2024),Upacara Tanah Puisi(2022), Melihat Indonesia Masa Kini(2023), Pancasila Dalam Perspektif Penyair Dunia (2023), Sebelum Cahaya Padam Pada Pukul Tiga(2022).Juga puisinya dimuat media cetak Malaysia dan Bangladesh.. email: encesumirat32@gmail.com
IBU, ALANGKAH MENYEDIHKAN NEGERI INI
karya: Agus Widiey
ibu, sampai kapan jalan ini bisa rapi,
seperti yang diharapkan demokrasi.
tak dapat kutahan sedu sedan kerusuhan
juga kerusakan yang masih berdesakan;
karena mata dan telinga masih berfungsi
untuk menyaksikan segala kesedihan
yang jumlahnya melebihi iklan di berbagai koran.
sedang kata guru kebangsaan
aku adalah generasi harapan
tapi bagaimana jika keadaan
membuatku cemas lebih duluan.
orang-orang dewasa
memperlihatkan keangkuhannya,
pada negerinya sendiri
hingga membuatku sedikit ketakutan
menatap masa depan
dan pikiranku dipenuhi pertanyaan
tentang apa sebenarnya makna kemerdekaan.
alangkah menyedihkan negeri ini
jika kebenaran sudah dipatahkan kepentingan
maka tak ada yang namanya cinta kebijaksanaan.
–kemerdekaan harus disama ratakan kembali
keadilan harus disama rasakan tanpa terkecuali–
maka, maafkan cintaku
yang begitu fanatik terhadap negeriku
hingga berani menyatakan peringatan
sebagai sikap kemanusiaan yang tak ingin dijinakkan.
duh, alangkah menyedihkan negeri ini,
jika keluhan demi keluhan masih berdesakan
seperti ada duka ganda yang disengaja.
tapi percayalah, ibu
pada semata wayang harapanmu
yang akan tumbuh
sebagai tempat berteduh;
seperti pancasila
yang dapat memperteguh
segala yang telah dibuat runtuh.
Yogyakarta, 2024
BULAN RETAK DI LANGIT
karya: Her Ra
Anak-anak menggelar sajadah
Di bawah temaram sinar rembulan
Kidungnya menyayat persada
Untuk ibu mereka bernama bangsa
Yang telah diperkosa oleh sistem yang bernama negara
Kidungnya menyayat persada
Menjadi epilog-epilog duka
Nilai-nilai kebajikan Pancasila
Yang seharusnya bersanding mesra
Dengan nilai-nilai adat dan agama
Retak di langit raya nan angkara
Kidungnya menyayat persada
Demokrasi yang sejatinya adalah ruang koloni
Menjadikan anak-anak tumbuh tanpa ilmu
Tanpa kejelasan nasib kehidupan
Kebiadaban partai politik
Merampas nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan
Kebersamaan dan keadaban
Dari jantung seluruh anak-anak nyai pertiwi
Disinilah mereka menemukan arti air mata, merasakan bulir-bulir kecewa
Digoda liukan angin kedamaian
Yang seharusnya Berembus
Dari kepakan sayap Garuda suci
Surakarta, 1 Agustus 2024.
( Wahyu Toveng )