![]() |
Syahnagra Ismail, Kepala Balai Budaya Jakarta |
Jakarta - 7DetikCom - Kegiatan seni dan kebudayaan saat ini marak dilakukan di luar tempat atau pusat kesenian, seperti event Mother Earth Visual Art Exhibition ini. Dan para seniman mempunyai visi idealisme tersendiri dalam berkarya, mungkinkah visi mereka itu dapat terganggu saat berkolaborasi dengan kelompok elemen masyarakat di luar seni. Lalu seperti yang kita ketahui, bahwa kegiatan berkesenian, pada saat ini, memang banyak mengacu pada banyak hal masalah, peristiwa, bahkan tragedi dan lain sebagainya, dan hal tersebut adalah upaya, sebagai bentuk kepedulian pada manusia yang memanusiakan manusia.
Dan hal tersebut, di ungkapkan langsung oleh Syahnagra Ismail, Kepala Balai Budaya Jakarta, pada 7DetikCom. Menurut, Kepala Balai Budaya Jakarta, Syahnagra,
"Ini semua harus kita ketahui, bahwa sebenarnya, balai budaya itu, di hidupkan oleh para seniman, faktanya sekian lama, hingga pada saat ini, pihak kami tidak pernah menerima bantuan dana dari mana pun. Apakah itu dari negara, mesti kita ketahui, dalam hal ini pemerintah, atau bahkan dari pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekalipun, walau atau meski beberapa kali negara ini berganti Kepala Pemerintahan dan Kabinet. Bayangkan lembaga sekelas Balai Budaya yang sudah dikenal sejak bertahun-tahun, baik itu di Indonesia ataupun luar negeri, untuk pendanaan murni dari sesama seniman yang mempunyai kepedulian akan eksistensi dari tempat ini, di mana idealisme kesenian dan kebudayaan dibangun dari sini. Bahkan saat misal kami bertemu sesama seniman di luar negeri mereka tetap ingat dan bertanya, apakah idealisme dari Balai Budaya tetap terjaga? Seperti tempo hari, kami baru saja menerima kedatangan tamu rombongan dari satu perwakilan pemerintah kota di China, lalu kami berdialog bagaimana membangun seni bersama-sama agar tercipta keselarasan pandang dalam menyikapi situasi dunia." Terangnya, Kemarin Minggu, (04/08/24)
Lebih jauh lagi, Syahnagra, juga menuturkan. Soal seni dan soal budaya, dari masa anak-anak, saya sudah suka melukis, dan itu sejak diri saya, masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, (SMP -red). Sampai saat itu saya sudah melukis dengan benar dan tidak asal corat-coret belaka, ayah saya sangat berjasa dalam hal ini, lalu guru saya di Sekolah Taman Siswa (Tamsis-red) juga berpengaruh di awal ketertarikan saya terhadap seni lukis. Kemudian masuk ke Sekolah Seni Rupa di Yogyakarta dan melanjutkan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ-red). Saya terus membangun kekaryaan saya hingga kemudian mendapatkan kesempatan dari Sweedish Institute ountuk memperdalam keilmuan di Akademi Seni Grafis Stockholm di Swedia sekitar 1990-an. Sebelumnya pada 1987 saya ikut serta mendirikan Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA) bersama sahabat saya Pelukis Hardi. Agar gagasan persatuan dan kebhinekaan bisa membangun kebudayaan bersama-sama untuk masalah kelestarian kebudayaan Indonesia
Untuk itu, masih kata Syahnagra, Dan pada medio tahun 1998-an, saya masuk dalam sebagai pengurus harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ-red)). Untuk Komite Seni Rupa dan memimpin Balai Budaya Jakarta sejak sekitar 2019-an. Jadi kesemuanya hampir 50 tahun perjalanan berkesenian saya dan telah banyak mengunjungi tempat di dalam dan luar negeri yang tentunya tetap pada koridor kesenian dalam hal ini Seni Lukis. Ujarnya, menjelaskan.
Dan kalau untuk, hubungan antara Pegiat seni dengan pemerintah serta perkembangan kesenian di negara-negara yang pernah saya berkesempatan berkunjung kesana, untuk menimba ilmu, ataupun berpameran, sangat jauh berbeda, negara Indonesia dengan negara lain di luar sana. Kalau di luar negeri terutama di eropa, mereka sudah sangat teratur ekosistem keseniannya, dan pemerintahnya menaruh perhatian yang sangat besar untuk dunia kebudayaan
"Dan di sana masalah ekonomi tidak terlalu menjadi persoalan seperti di negara kita ini, bila di sini, semuanya seperti berlomba ingin kebutuhan ekonominya lebih baik, namun dengan menghalalkan segala cara, sehingga muncul banyak kasus korupsi. Dan dalam membongkar kasus-kasus tersebut tidak tuntas hingga ke akar, tidak dengan semangat keterbukaan. Indonesia tidak akan pernah maju, terlalu menjadi persoalan seperti di negara kita ini, bila di sini, semuanya seperti berlomba ingin kebutuhan ekonominya lebih baik, namun dengan menghalalkan segala cara, sehingga muncul banyak kasus korupsi. Dan dalam membongkar kasus-kasus tersebut tidak tuntas hingga ke akar, tidak dengan semangat keterbukaan. Indonesia tidak akan pernah maju dan rakyatnya tidak akan sejahtera bila hal itu terus berlangsung." Paparnya,
Di luar negeri, setiap keterlibatan seni dalam berbagai bidang di luar seni itu sudah sangat dihargai.
"Semisal Budayawan dalam keterlibatannya itu baru menghasilkan pemikiran yang berbuah konsep, pemerintah di sana telah menganggap ia telah bekerja, bahkan sampai pelaksanaan setiap harinya, bulan atau tahun, konsep dari seniman itu tetap dihargai. Jadi di sana seniman bisa menciptakan pekerjaan,-pekerjaan dan diapresiasi dengan baik oleh pemerintahnya. Pernah pula saya temui pada sebuah sidang atau rapat pemerintahan, mereka mengundang seorang penyair negara itu untuk membacakan puisi, jadi sebelum membahas persoalan negara, mereka menyimak satu peristiwa budaya. Saya rasa hal itu dapat ditiru di sini, misal sebelum sidang DPR menghadirkan dahulu pembacaan puisi, lalu jalan menuju ruang sidang ditempatkan lukisan-lukisan dari pelukis, atau di mimbar diberikan kesempatan kepada budayawan untuk memberikan pidato atau sambutan kebudayaan. Sehingga dapat memberikan edukasi ke khalayak luas. " Pungkasnya.
(Wahyu Toveng )